24 Februari 2010

Sebuah Nama Yang Tak Pantas Di Sandang Badut

Aku belum mandi, saat peluru tiba-tiba terasa dua kali menembus kepalaku. Tidak banyak yang mampu kuingat, kecuali, hari itu aku benar-benar salah masuk kamar. Sebagian orang telah melihatku mengamati tanda pengenal di depannya, sebagian mengatakan aku tidak, kecuali satu orang di antara mereka mengatakan kedua-duanya. Ya melihat -Ya tidak.

Peluru menembus. Terasa dua kali di kepalaku. Dua buah ambulan terdegar samar seperti sirene polisi lalu lintas, lalu membawaku, pada sebuah tempat yang jauh gelap, seratus delapan puluh kilo. Entah apa namanya, samar juga ku dengar orang-orang membaca buku yang dianggap suci oleh sebagian, dan juga dianggap kotor oleh lainnya, kecuali satu orang diantara mereka mengatakan kedua-duanya. Ya suci - Ya kotor. Kemudian dua peluru, terdengar jatuh di lantai. Sebagian mengatakan peluru, sebagian mengatakan batu, kecuali satu orang diantara mereka mengatakan kedua-duanya. Ya peluru - Ya batu.

Aku mencari satu orang itu, sekarang dimana. Dia tak ada lagi diantara kerumunan orang-orang itu. Dimana, orang aneh itu? Sial, dia menghilang. Semakin kuburu, semakin terasa secepat peluru. Di utara, ku dengar dia membagikan uang dengan tangannya yang terluka, membaca puisi di masjid dan makan di gereja. Di selatan, dia mengajarkan orang-orang bercocok tanam dan mengumpulkan pemuda dan berkotbah tentang penyakit dan menentang kelaparan. Di alun-alun kota, dia berteriak mengibarkan kain merah, melolong seperti anjing , hingga orang dibuat sakit telinga dan orang-orang berlalu saja. Orang Aneh. Sekarang dimana? Di penjara? Ah sudah lama ternyata.

Selembar koran yang tak mulus lagi, memberikan tanda jejaknya. Dia terlihat memanggul senjata. Sendirian. Pemberontak pikirku, dan miskin. Ada apa disana? Sebilah pisau tajam, satu pena, dua lembar kertas lusuh (mungkin ijasah hukumnya yang tak laku), dua strip obat nyeri, selembar fotonya bertopi kabaret, tanpa alamat. Manusia aneh, beristrikah? Kupikir tidak, karena di kampungnya orang beristri delapan bukan aneh. Atau siapa mau kawin dengannya. Laki-laki tanpa rumah, tanpa uang, tanpa kehormatan, tanpa daya, tanpa kecuali. Orang-orang bersaut-sautan berceritia di warung kopi. Pahlawan kesiangan. Sukarelawan. Orang gila. Orang Hebat. Dukun. Gak waras alias sinting. Juga pembela yang tertindas . Juga Pengkhayal dan tentu seorang yang tak laku kawin. Andai dia disini, aku yakin dia akan mengatakan bahwa dia adalah semuanya, pahlawan sekaligus pendosa. Ah sial, koran busuk. Sudah hangus. Aku semakin jauh mencarinya. Mungkin juga dia sudah mati atau sudah dicincang polisi.

Kata-kataku tak muncul dalam obrolan warung sore itu. Karena dua buah peluru nyasar yang menerjang kepalaku, bukan satu-satunya alasan aku mencarinya. Karena dia juga menyembuhkan, dia membangkitkan aku yang tidur, mencerdaskan aku yang tolol dan mengajarkan aku tentang cinta, tentang alam, tentang sorga, tentang sejuknya neraka. Dia adalah sebagian besar saksiku dan mengajarkan aku makan dua belas anak tikus sebagai obat kuat . Aku rindu saat itu. Masa itu. Masaku.

Sobat. Dimana? Dan aku malu. Karena tak mampu. Tak pernah terfikir, kau berganti nama yang terdengar kiri: UDIN.

Sebuah kutipan dari WS. Rendra, kubaca di bawah namanya:

Bukan demi sorga atau neraka.Tetapi demi kehormatan seorang manusia


Angeles City, Manila – Philippines
Feb 24, 2010 (satu hari menjelang perayaan people power)