8 April 2013

Sebuah Drama Akan Dipentaskan

Children possess a natural curiosity and desire to learn that is coupled with their wanting to be accepted by others. To kindergartners and primary-grade children, their teacher is nothing short of god. Joanne Hindley.

Pertunjukan sesungguhnya belum dimulai, namun satu babak drama telah berlangsung di rumah, kira-kira satu jam setelah Maghrib di hari Rabu 24 April. Kami bertiga bersepakat, masing-masing dari kami medapat bagian peran antagonis dan protagonis sekaligus secara bergantian. Dan kami bertiga adalah saya, istri dan anak kedua kami, Luftan (6 tahun 2 bulan), membawakan tiga cerita sekaligus.

Cerita I: Saya adalah seorang petani desa yang tekun bekerja disawah dan mengajak warga di sekitarnya beralih menggunakan pupuk organik setelah mendapat informasi dari dosen pertanian cantik (diperankan istri saya), dan mengajak petani lainnya, menanggulangi hama baru bernama Luban (diperankan oleh Luftan).

Cerita II: Seorang lelaki bernama Jaroni (diperankan saya), memarahi kepala stasiun kereta api yang super bijaksana (diperankan istri saya) setelah mendengar seorang petugas pengumuman stasiun (diperankan Luftan) bahwa kereta api tidak bisa di berangkatkan hari itu.

Cerita III: Seorang ksatria sejati penunggang kuda (diperankan Luftan) melakukan tindakan penyelamatan penduduk yang kelaparan disuatu kampung (diperankan saya), tetapi seorang nenek sihir bernama Agini (diperankan istri saya) menghalangi usaha kasatria penunggang kuda. 

Kami saling tertawa. Bahkan Luftan girang bukan main ketika memerankan hama Luban, sang pengganggu petani. Deru dan ringkik kuda Luftan yang melengking ketika memasuki halaman kampung, membuat saya dan istri saya terpingkal karena ringkik kuda sang ksatria, tertukar dengan bunyi bel stasiun. Sang nenek sihir  juga lebih terlihat seperti juru masak. Peran saya sebagai penduduk kampung yang kelaparan, kontradiktif  dengan berat badan saya yang berlebih.

Cerita tidak berjalan mulus karena kami tidak cukup berlatih. Tetapi semangat kami bertiga untuk memainkan seni peran, membuat kami bertiga sulit untuk bisa menahan tawa di depan TV yang sudah tidak bisa hidup sejak dua minggu lalu di rumah kami.

Ketiga cerita itu tidak akan pernah dipentaskan, karena sesungguhnya ketiga cerita itu berlatarbelakang kekecewaan saya terhadap peristiwa beberapa menit sebelumnya tentang sebuah drama yang akan dipentaskan di sekolah Luftan, di hari wisuda TK Al- Ir. beberapa minggu lagi.

Usai Maghrib, saya meneruskan membaca buku "Partikel", buku terbaru Dee dari seri Supernova yang terbit bulan April ini. Istri saya merapikan setrikaan di depan TV mati. Luftan mewarnai gambar di sebelah saya menggunakan crayon patah-patah. Tiba-tiba, istri saya bertanya kepada Luftan,

"Nak, kata mamanya Fara, kamu terpilih main drama di acara wisuda nanti di sekolah, apa iya?" Luftan tidak menjawab. Dan aneh, dia bereaksi kaget  dan nampak tidak senang dengan pertanyaan itu. Saya bisa melihat raut mukanya karena dia berada tidak lebih dari 200 cm dari saya. Saya menjulurkan tangan dan berkata,

"Hei.. selamat.. you play a drama." Luftan tidak membalas tangan saya dan tidak menjawab apa-apa bahkan ketika mamanya mengulangi pertanyaan itu. Ini hal tidak biasa. Ini aneh dan membuat saya bertanya di dalam pikiran, ada apa ya?  Puncaknya ketika pertanyaan kedua disampaikan oleh mamanya,

"Luftan jadi apa di acara drama itu?" Luftan menutup buku mewarnainya, merapikan crayon-nya, tetap tidak menjawab pertanyaan dan berusaha mengalihkan topik pembicaraan tentang crayon-nya yang memang jelas-jelas tak lengkap 12 warna. Ketika pertanyaan itu diulang oleh saya, 

"Sebagai apa di drama itu?" Dia tetap tidak menjawab. Kemudian berdiri meninggalkan kami, menuju kamar membawa crayon dan buku mewarnainya, tak keluar lagi dari kamar untuk beberapa menit. Saya berbicara dengan istri saya seputar ada apa dengan drama itu. Baru sekitar 20 menit kemudian, dengan cara berbisik, pelan sekali, nempel ke mamanya, ditemukanlah jawabannya, 

"Ma, aku terpilih jadi anak nakal"

Wow, giliran saya yang kaget karena ini pasti  'error' saat guru menjelaskan tentang drama itu. Luftan pasti belum paham apa seni peran. Kemungkinan, untuk dapat lebih jelasnya kepada siswa, seseorang disekolahnya telah berkata kamu begini, kamu begitu, kamu harus begini, kamu harus begitu, kamu jadi ini, kamu jadi itu, kamu jadi anak nakal."
Saya berfikir, bagaimana caranya untuk sedikit mengurangi apa yang ada di kepala anak saya tentang kesan "jadi anak nakal" dalam drama itu. Saya mengajukan 3 cerita kepada Luftan dan memainkan malam itu juga di depan TV mati, dengan harapan ada sedikit pemahaman tentang seni peran dalam sebuah pementasan drama.

Tiga cerita telah dimainkan sambil tertawa, dan menyenangkan. Tiga orang telah berkesempatan mengalami karakter protagonis dan antagonis dalam seni peran. Tetapi menjelang tidurnya, Luftan masih mengajukan pertanyaan kepada saya yang tentunya hanya gurunya yang bisa menjawab,

"Pa, kenapa bu guru memilih aku ikut drama itu?"


Saya belum ketemu gurunya.

Jember, 25 April 2012

Semoga Menginspirasi.