6 September 2010

Guruku Sang Pengemis (bagian 1)

Berikut adalah catatan saya tentang hearing antara dewan (DPRD) Jember dengan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) Jember dan FKGB (Forum Komunikasi Guru Bersertifikasi) yang terjadi hari Kamis, Tanggal 26 Agustus 2010 jam 12.30 -14.00 di gedung dewan.

saya adalah Ketua Ranting PGRI SMK NEGERI 1 JEMBER, hadir di gedung dewan atas desakan beberapa kawan agar ikut memperjuangkan cairnya tunjangan profesional bagi guru bersertifikasi, tunjangan tambahan penghasilan bagi  guru non-sertifikasi dan perjuangan perbaikan nasib guru  GTT (guru tidak tetap) atau sukwan yang mengabdi  di sekolah negeri.

Tiga agenda tersebut bagi saya menarik karena:
  1. Guru bersertifikasi adalah adalah guru profesional, guru terbaik di negeri ini yang dibuktikan dengan sertifikat yang diraihnya.
  2. Guru non-sertifikasi akan menerima tunjangan tambahan penghasilan sebagai pemenuhan janji pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru secara bertahap.
  3. PGRI akan berjuang  untuk guru tidak tetap (GTT) karena sertifikat profesional sebagai tiket untuk mendapatkan tunjangan profesional hanya akan diberikan kepada guru tetap (GT) sesuai aturan.
  4. menurut info yang saya dapat, hearing di dewan ini terjadi karena PGRI kebakaran jenggot atas 'ulah' FKGB yang berteriak-teriak tanpa koordinasi dengan PGRI menuntut pencairan tunjangan profesi bagi guru bersertifikasi.
  5. bagi saya munculnya FKGB yang mengklaim di anggotai sekitar 5.000 orang guru professional, mengundang perhatian saya untuk belajar dari mereka. Bagaimana guru-guru prosesional di negeri ini memandang kewajiban dan hak kesejahteraannya.
Saya bersemangat datang ke gedung dewan. Saya datang lebih awal dengan maksud mendapatkan kesempatan bertemu dan belajar dari guru-guru profesional sebelum hearing dimulai. Saya nampak seperti jurnalis karena saya ingin belajar. Saya bertanya kepada sebagian mereka. “Guru yang profesioanal itu yang bagaimana, pak?”. Tapi saya tidak dapat jawabannya. “Profesional itu apa, buk?” . Lagi, saya tidak dapat jawabannya.  Kemudian,  saya curiga, jangan-jangan mereka tidak mengerti profesional itu apa, oleh sebab sebagian mereka mengatakan kepada saya,” kita kesini untuk menuntut  tunjangan profesi dik, bukan profesional,  gal pake –al”. Saya melongo. “kami menuntut agar uang itu cair sebelum hari raya, pokoknya sebelum hari raya, sebelum hari raya.”

Acara di mulai dengan pembacaan puisi oleh seorang guru yang berjaket logo PGRI. Saya antusias ingin mendengarkannya, karena dugaan saya, puisi ini pasti dibuat oleh guru profesional, guru bahasa indonesia terbaik se- Kabupaten Jember.

Apa yang terjadi, sungguh mengerikan. Sebagai guru saya sangat malu dengan puisi itu. Puisi itu bercerita tentang penderitaan guru yang gajinya selalu minus karena dipotong angsuran hutang di koperasi sekolah. Sepeda motor guru yang di cabut dealer karena sang guru tidak mampu bayar angsurannya. Guru yang merangkap menjadi tukang ojek untuk mendapat tambahan penghasilan.  Saya kutip bagian tengah puisi itu:

.............................
Jadi guru itu serba susah
Jadi guru itu serba repot
Jadi guru itu budak melarat
Tapi mudah-mudahan tidak, setelah sertifikasi keluar
Jadi guru itu gudang curhat
Jadi hanya mendengarkan keluh kesah
Sekian kalinya bapak jelaskan
Jadi guru itu seperti makan jenang
What is the meaning of jenang
Jenang adalah sejenis makanan
Kalo dimakan seret kalau di lepeh eman
Jadi kalo jadi guru itu gajinya seperti jenang
Diterima juga kurang di buang juga eman
Apalagi pas waktunya gajian
Dan saat- saatnya THR diterima dan tunjangan yang lain juga diterima
Yang nggak pernah di berikan
Sudah tau haknya
Kog gak diberikan
Gak dibayar-bayar
...................

Puisi di tutup dengan riuh tepuk tangan dari pengurus PGRI dan anggota komisi D yang menyatakan puisi guru itu sangat menggugah aggota komisi. Puisi itu berjudul " Untuk Murid-muridku Yang Sekarang Menjadi Pejabat".

Saya tidak bertepuk tangan, saya menangis di dalam hati sambil mengepalkan tangan. Bukan karena puisinya menggugah perasaan saya, tetapi karena puisi itu sangat menjijikkan buat saya.

Iwan fals mengusung tema kesejateraan guru dengan menciptakan tokoh oemar bakri dan berteriak tentang perbaikan nasib guru. Tidak ada masalah karena Iwan Fals bukan seorang guru. Dia seniman. Mulia Iwan Fals. Tetapi ketika guru sendiri meratapi nasibnya sendiri, mejual kesedihannya sendiri, meminta anggota dewan untuk kasihan dengan penderitaannya, bagi saya, guru tidak ada bedanya dengan pengemis. Sekali lagi pengemis.

Sehina itukah para guru, sehingga harus disampaikan bahwa pekerjaan guru adalah budak melarat. Apa ada pekerjaan yang tidak serba repot, apa yang bukan guru tidak serba susah. Maaf saya juga seorang guru. Mungkin tidak profesioanal seperti bapak dan ibu-ibu yang punya sertifikat profesional, tetapi saya ingin menawarkan pertanyaan , kenapa tidak berhenti  saja?, kenapa tidak mengajukan pensiun dini karena nasib guru begitu tragis seperti yang bapak guru lukiskan?

Kemudian Ketua PGRI membacakan rekomendasi yang intinya agar DPRD Jember memperjuangkan hak (yang di maksud adalah uang ) guru yang butuh untuk keperluan hari raya, sehinga meminta dewan, untuk menfasilitasi pencairannya sebelum idul fitri. Kemudian menutup pidatonya dengan bahasa inggris yang pengucapannya seperti orang habis cabut gigi:

“ whoever helps teacher, he or she will get reward since teacher are people who are blessed by god. If  you help teachers, you will be prayed by them since their prayer is granted .”

Jika di terjemahkan dalam Bahasa Indonesia, penutup pidato itu kira-kira berbunyi seperti ini: (saya terjemahkan khusus kata ‘teachers’ dengan ‘ saya’ karena ini dibaca oleh guru sendiri)

“Siapapun yang membantu saya, dia akan dimuliakan karena saya adalah orang yang diberkati Tuhan. Jika anda membantu saya, anda akan saya doakan dan doa saya mendapat jaminan di terima.”

Apakah berbeda dengan kalimat pengemis?, padahal guru-guru itu berdiri di depan kelas mengajarkan kalimat mulia kepada murid-muridnya, “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.”

(Bersambung)