Kedua matanya bengkak. Dia menangis di becak dalam perjalanan pulang ke rumah dari sekolah.
Setelah mengucapkan salam dan menjulurkan tangan ke ibu di teras rumah, dia masuk kamar dan melempar tasnya tinggi-tinggi hingga ke atas lemari. Tidak keluar dari kamar untuk beberapa saat, kemudian ibu bertanya, "ada apa, nak?” Tetapi tidak ada jawaban.
Ada masalah di sekolah. Demikian di fikiran ibu setelah mencoba beberapa pertanyaan tapi tetap tak ada jawaban dari anaknya. Kemudian, ibu dengan tidak sengaja melihat tali tas bergelantung, menyembul dari atas lemari. Ibu memeriksa pekerjaan sekolahnya. Dan ibu melihat gambar lucu tapi tidak tampak senyum sedikitpun di wajahnya. ibu menemukan ini di buku matematika anaknya:
Ibu keluar kamar, anaknya mengikuti. “Ibu jangan menelepon pak guru, jangan bu, jangan.... Ibu marahin aku saja... marahin aku saja bu, tapi jangan menelepon pak guru. jangan bu jangan bu...”.
Ibu mengambil buku catatan, buku bersampul tebal berwarna merah yang penuh dengan catatan belanjaan. saya mengintip coretannya:
Pada saat kita mengajarkan satu kemampuan atau kompetensi kepada siswa, seringkali rencana pembelajaran kita hanya fokus kepada ‘hasil’ atau tujuan, seringkali mengabaikan proses yang berhasil dicapai oleh siswa. Pada soal itu, tentu tidak bisa membenarkan hasil penjumlahan itu. Ada satu kesalahan. Tetapi ada dua kebenaran yang tidak dihargai sama sekali. 4+9=13. Benar. 7+2=9. Benar.
Semoga menginspirasi.
Jember, 5 Februari 2011
sepulang ta'siah dari rumah Pak Usman, Sukorejo.