30 November 2009

Kenapa Kita Ke Sekolah

Seringkali kegelisahan melihat pendidikan di negeri ini membuat saya sulit tidur.

Percakapan saya dengan ribuan guru di seluruh tanah air, ratusan kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan, bertumpuknya masalah yang dihadapi sekolah dan wali murid membuat saya sulit  percaya bahwa kualitas pendidikan akan segera membaik.

Bila dunia pendidikan kita tidak segera membaik,  kita dapat melihat bagaimana bangsa ini di masa depan. Saya yakin keadaan kita tak kan jauh dari keadaan sekarang. Terus akan merosot sampai kita menjadi bangsa yang paling bodoh. Selalu ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain di dunia atau malu-malu kucing mengakui keunggulan negara lain. Kita hidup dengan buaian kata-kata tentang kejayaan masa lalu. Tentang hebatnya Majapahit, tentang negeri yang gemah ripah loh jinawi, tentang gotong royong, tentang bambu runcing, tentang sopan santun, ahlak mulia yang semua itu tanpa kita sadari bahwa saat ini kita hanyalah bangsa yang harinya-harinya hanya dipenuhi dengan bagaimana susahnya membayar kredit sepeda motor dari Jepang, atau masyarakat yang rela membunuh demi sebuah blackberry.

Keterbatasan dana, kelengkapan fasilitas adalah alasan paling mujarab bagi sekolah untuk menolak tudingan kenapa sekolah kita tidak berdaya dalam menciptakan generasi unggul. Jika Anda kebetulan mengikuti sebuah rapat dengan kepala-kepala sekolah di negeri ini maka pertanyaan yang selalu ada dan akan berulang-ulang, kapan sekolah kami dapat bantuan, tolong sekolah kami dilengkapi dengan lab. komputer, lab. bahasa, ruang kelas baru dan lain-lain.

Tidak bohong. Sekolah memang butuh dana, butuh fasilitas, butuh perlengkapan untuk pengajaran, butuh kesejahteraan, tetapi jika itu adalah alasan utama untuk tidak bisa menciptakan kualitas pembelajaran yang baik kepada murid maka sebenarnya sekolah telah melakukan perbuatan biadab terhadap bangsa ini. Maka tidak heran, banyak anak-anak kita walau sepuluh tahun di sekolah belum bisa menjawab pertanyaan kenapa kita harus sekolah. Anak-anak itu memilih mengamen di bis jauh lebih enak ketimbang sekolah.

Sekolah menjawab pertanyaan angka putus sekolah itu disebabkan oleh ketidakmampuan orang tua murid secara ekonomi. Anak-anak bekerja membantu keuangan keluarga, anak-anak itu malu ke sekolah tanpa uang saku, anak-anak itu memang anak nakal dari orang tua yang memang nakal, anak-anak itu ... .

Saya bertanya kepada anak-anak itu," Kenapa kamu harus sekolah, nak?". Tak seorangpun menjawab.

Sepuluh menit kemudian, mereka mulai menjawab sejujurnya karena sangat diminta menjawab:

" Saya ke sekolah karena orang tua saya akan marah kalau saya tidak masuk". Anak ini datang ke sekolah karena perasaan takut. Mungkin anak ini berharap suatu hari orangtuanya pergi ke Malaysia menjadi TKI meninggalkan dia, kemudian dia akan berbahagia karena tidak ada lagi orang marah di rumah bila dia tidak sekolah.

" Daripada dirumah pak, dak ada temannya." Bagi anak ini, sekolah adalah kebahagian tersendiri karena dapat bertemu dengan banyak teman. Anak ini hidup dan bahagia karena temannya. Maka temannya adalah satu-satunya yang mengerti, satu-satunya yang bisa memahami.

" Kangen kantin bu guru." Ada makanan atau ketemu siapa di kantin sekolah telah memikat siswa ini.

" Takut dak naik kelas pak." Tidak naik kelas itu menakutkan. Tapi seringkali obatnya sederhana, asal masuk dan tidak melawan guru.

" Kita kan sudah kelas tiga pak, takut dak lulus ujian nasional". Dengan segala cara, anak akan berusaha menyimpan catatan kecil sebagai contekan. Di paha, di saku, di HP, di bangku, di guru.

" Ingin berguna bagi bangsa dan negara dan agama bu". Kelihatannya bagus tapi ketika ditanya maksudnya apa, jawaban berikutnya menyusul, " karena biasanya anak-anak nulis kayak gitu bu kalo ngisi biodata".

Lebih banyak dari mereka tidak mengacungkan tangan ke atas mungkin mereka tidak tahu kenapa ada di sekolah, mungkin mereka tersesat, mungkin yang lain.

Sekolah gagal mengkomunikasikan hal paling essensial tentang mengapa bangsa ini memerlukan sekolah, memerlukan anak anak di sekolah. Akibatnya, sampai dengan hari ini anak anak-anak itu sudah menjadi menteri, sudah menjadi guru, sudah menjadi dirjen, sudah jadi kepala dinas, sudah jadi bupati, walikota tetap saja mereka menyimpan pertanyaan di dalam hati " benarkah membangun pendidikan adalah membangun negeri ini?"

Sementara pertanyaan saya terus berjalan. Kenapa seringkali kegelisahan melihat pendidikan di negeri ini membuat saya sulit tidur.

Karena saya sendiri adalah seorang guru.