Wiwitan adalah judul pidato kebudayaan Gubernur Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah di Wisma Perdamaian pada tanggal 6 Januari 2014. Pidato ini penting, karena ini mungkin yang pertama di negeri ini, seorang pemimpin terpilih, yang bukan presiden memulai agenda pembangunannya dengan pidato kebudayaan.
Ini tek pidato lengkapnya:
Saudara-saudaraku sesama rakyat Jawa Tengah, yang saya hormati dan cintai,
Ini tek pidato lengkapnya:
Saudara-saudaraku sesama rakyat Jawa Tengah, yang saya hormati dan cintai,
Selamat Tahun Baru 2014. Tahun ini adalah tahun pembuka yang sangat penting. Meskipun melalui proses revisi Rancangan APBD tahun ini merupakan tahun fiskal pertama secara utuh untuk menjalankan mandat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Pelaksanaan mandat bukan hal biasa, melainkan sesuatu yang istimewa karena pada batas waktu akhir penerima mandat harus mempertanggung-jawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan mandat yang telah diberikan.
Menunaikan tugas mulia, dalam budaya kita, Budaya Jawa tidak
hanya memerlukan persiapan fisik tetapi juga persiapan lahir dan batin. Mohon
petunjuk, tuntunan, dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa untuk melaksanakan
tugas yang berat tetapi mulia.
Saya bertanya dalam bathin saya. Apa yang harus diberikan untuk wujud kecintaan kepada Tanah dan Air di Jawa Tengah ini. Mulailah saya menilik ulang esensi laku utomo untuk memulai roda kehidupan pemerintahan di Jawa Tengah.
Orang Jawa mengatakan, Wiwitan dapat diartikan juga Jejeran. Jika dalam dunia Pewayangan, Jejeran menjadi sumber alur utama cerita: siapa yang berkuasa, siapa tokoh kunci cerita, rangkaian peristiwa dan pemecahan masalah dalam cerita. Maka, dalam cerita pewayangan itu kita mengenal kedudukan para raja adalah penguasa yang dianggap syah menggunakan seluruh sumber daya alam dan manusia untuk kepentingan sang Raja. Akan tetapi dalam konteks Pemerintahan Jawa Tengah, Rakyat adalah sumber dari kekuasaan karena Ia adalah penentu. Ia adalah Tuan sang pemberi mandat. Dengannya, Gubernur beserta jajaran birokrasi pada hakikinya adalah penerima mandat untuk menjalankan kekuasaan untuk melayani tuntutan Rakyat.
Posisi “sungsang” ini merupakan perwujudan praktik penyelenggaraan pemerintahan berbasis demokrasi, yang menggeser paradigma “pemerintah membangun rakyat’’ menjadi rakyat membangun. Ini sekaligus mengubah pemrentah (tukang perintah) masyarakat menjadi mitra masyarakat, yang saling asih, asah, dan asuh.
Persiapan atau “wiwit” mempunyai makna yang penting dalam hidup dan peri kehidupan dalam keluarga Jawa, karena wiwit dipercayai akan menentukan perjalanan dan akhir suatu kehidupan. Oleh karena itu malam ini saya memandang perlu memaparkan pernyataan wiwitan secara lisan dan langsung dihadapan pemberi mandat yang mulia rakyat Jawa Tengah, setidaknya ada dua nilai mendasar yang diajarkan dari tradisi lelulur ini kepada kita, supaya kita mengenal jati diri dan memiliki kepribadian dalam kebudayaan.
Saudara-saudaraku sesama rakyat Jawa Tengah, yang saya hormati dan cintai,
Salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan orang Jawa adalah upacara adat tedhak siten. Tedhak siten adalah upacara pendekatan bayi yang berumur tujuh “lapan” untuk turun dari gendhongan guna menapak dan mengenal tanah. Tedhak siten memberi “pitutur” bahwa manusia yang berasal dari tanah (alam) harus mengenal dan bergaul dengan alam dalam hidup dan kehidupannya. Tedhak siten memberi metaphorfosa bahwa saya sebagai gubernur baru (lahir) yang berasal dari Jawa Tengah harus mengenal dan bergaul serta memahami keragaman masyarakat dari mana saya berasal.
Selama Empat (4) bulan pertama sebagai Gubernur, saya menghabiskan sebagian besar waktu saya keliling - MIDHER- Jawa Tengah untuk mendatangi bapak-ibu sekalian untuk berdialog, rembugan untuk menggali dan memecahkan bersama masalah dilapangan yang selama ini belum tertangani.
Pitutur lain dari Tedhak Siten adalah untuk pendewasaan dan kesempurnaan hidup manusia dianjurkan agar selalu berdialog secara terus menerus dengan alamnya, asal-usul, dan tumpah darahnya. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan menegakkan keberdikarian masyarakat maka dialog dengan para-pihak menjadi sarana utama dalam memahami kebutuhan dan kepentingan semua para-pihak. Maka “rembugan” yang perwujudan musyawarah dalam penyelesaian masalah, merupakan pendekatan sekaligus alat untuk menyelesaikan masalah secara kolektif (bersama-sama).
Dialog atau rembugan antara manusia dan alam yang dituturkan oleh tedhak siten, menunjukan bahwa manusia untuk kesejahteraan dan kesempurnaan hidupnya memerlukan (bahkan tergantung) dengan alam. Jadi kesejahteraan manusia tergantung pada kesejahteraan alam dan kesejahteraan alam tergantung pada kesejahteraan (keramahan) manusia. Rembugan antar keduanya adalah kebutuhan dasar keberadaan diri masing-masing, yakni sebagai subyek dan subyek.
Tedhak siten memberi pitutur bahwa dalam rembugan dalam melayani masyarakat harus ada kesetaraan antar pihak yang bedialog, saling menghormati, dan saling menghargai untuk menghasilkan kesepakatan bersama. Jadi syarat rembugan adalah saling “nguwongke,” agar saling bisa merasakan posisi masing-masing yang biasa dikenal dengan saling “tepa-salira.”
Rasa dan tepa-salira akan menjamin kesetaraan dalam rembugan, sehingga pemerintah dapat memahami permasalahan yang dihadapi rakyat melalui kacamata dan posisi diri rakyat. Sedang rakyat dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan pemerintah dalam memfasilitasi dan melayani masyarakat.
Tedhak Siten, Saudara-Saudaraku: “Saya belajar dari tradisi Tedhak Siten itu!” Kita mulai dengan melangkah, turun ke bawah, ngangsu kawruh melalui melihat, merasakan dan menggali kenyataan Jawa Tengah melalui panca-indera yang dimiliki. Hasilnya… luar biasa, “ nguwongke-uwong”.
Para pemikir, menyatakan bahwa seeing deeply in society – akan menajamkan rasa empati. Dan Jawa Tengah sebagai esensi dari Kebudayan Jawa mewarisi tradisi “me-manusia-kan-manusia “. Dalam midher, saya menemukan bahwa kita hidup dalam kemewahan dan kekayaan Bumi Air yang melimpah. “Gemah Ripah Loh Jinawi”. Jawa Tengah ternyata bukan sekedar cerita. Hidupnya rasa menjadikan kita bisa menikmati pesona keindahan alam-Nya, Jawa Tengah, baik yang di pegunungan, pantai maupun dataran rendah dengan hamparan sawah yang ijo royo-royo dibingkai dengan pepohonan di pinggiran desa-desa kami. Candi-candi yang terhampar di seluruh wilayah Jawa Tengah sebagai bukti bahwa tempat ini dipilih oleh para leluhur untuk mengembangkan budaya yang adiluhung nan agung. Saya takjub dengan aneka ragam seni dan budaya yang telah lama diciptakan, namun masih terpelihara dengan baik dan bahkan sebagian telah dikembangkan secara kreatif oleh warga Jawa Tengah sendiri !!! Keindahan batik Solo, Pekalongan dan Lasem, nikmatnya aneka kuliner yang selalu tersedia di setiap tempat, indahnya kerajinan tangan yang diciptakan oleh tangan-tangan terampil warga Jateng. Tidak di sangkal, kenyataan ini adalah kemewahan-rasa kami sebagai orang Jawa.
Tedhak Siten mengingatkan kepada saya fakta ini. Tetapi dibalik fakta kemewahan ini ada pergolakan batin dalam diri saya. Nadi rakyat Jawa Tengah tentang harapan pencapaian kebahagian hidup masih terasa berat. Tanah-Air yang selama ini kami jadikan sandaran kehidupan mulai “kelelahan” karena ulah-salah kami, yang ditandai dengan banyaknya tanah longsor dan banjir serta kekeringan. Kehebatan fakta itu, berubah menjadi tantangan bagi saya.
Infrastruktur! Ya, Infrastruktur, Saudara-Saudaraku! Dan Rakyat marah karena pemerintah ini dianggap tidak mampu merasakan sindiran orang. “Orang naik bus atau kendaraan darat lintas propinsi di Jawa ini dan terlelap tidur itu kalau mau merasakan sudah sampai di Jawa Tengah atau belum cukup dengan rasa”. Nek wis glodag-glodag, nah…wis tekan Jawa Tengah“
Sindiran orang yang mengatakan ini merupakan tohokan jitu yang menantang bagi kita untuk “cancut taliwondo” menyelesaikan problem infrastruktur jalan dan jembatan di Jawa tengah. Pembangunan jalan tidak hanya terkait dengan kenyamanan dalam berkendaraan, melainkan juga sebagai penopang penting dalam menggerakkan roda pembangunan ekonomi. Lebih jauh secara psikologis jika jalan-jalan di Jawa Tengah mulus membuat hati rakyat menjadi lebih tenteram.
Lalu, ketentraman kita sebagai keluarga besar Jawa Tengah juga terusik oleh masalah pengangguran dan kemiskinan. Dalam pesona alam yang gemah ripah loh jinawi ini, ternyata ada Jutaan di antara kita, para anak muda kita, keluarga-keluarga kita : miskin dan menganggur! Beribu-ribu pemuda dan pemudi terpaksa harus mengais penghidupan sebagai pekerja kasar dan rendahan di negeri orang. Ini, yang begini ini, pasti ada yang salah. Pasti ada yang keliru.
Saudara-saudaraku sesama rakyat Jawa Tengah,
Besarnya laju pertumbuhan ekonomi di perkotaan telah menjadi magnet yang sangat besar bagi orang perdesaan untuk mengadu nasib. Arus urbanisasi dari perdesaaan ke perkotaan tidak dapat dibendung dengan cara apapun, akibatnya kepadatan penduduk menjadi masalah kronis di perkotaan. Bagi sebagian kecil di antara kita yang berhasil, dapat menikmati kenyamanan kota. Tetapi bagi sebagian besar yang tidak beruntung harus hidup berdempet-dempetan di tempat yang kumuh, dengan tingkat ketegangan sosial dan kriminalitas yang sangat tinggi. Di tempat-tempat seperti inilah pengangguran dan kemiskinan di perkotaan telah terjadi.
Mengadu nasib di perkotaan, ternyata menjadi pilihan lebih baik bagi para pemuda-pemudi anak generasi Jawa Tengah, dari-pada tetap tinggal di perdesaan. Desa tidak lagi menjanjikan bagi mereka. Jenis pekerjaan yang ditawarkan di perdesaan sebagian besar merupakan pekerjaan fisik yang berat, tidak bergengsi dan tidak menghasilkan banyak uang. Selebihnya, kehidupan di perdesaan terasa hampa terutama bagi pemuda yang telah terobsesi dengan kehidupan perkotaan yang komsumtif, gemerlapnya dan hingar-bingarnya hiburan. Ketika kehidupan di perdesaan tidak menjanjikan, maka urbanisasilah jawaban satu-satunya. Mereka lebih baik miskin dan menganggur di perkotaan karena bisa hidup anonim daripada malu hidup miskin di perdesaan.
Arus urbanisasi penduduk perdesaan ke perkotaan telah membuat perdesaan kehilangan tenaga produktifnya. Kelangkaan tenaga kerja di sektor pertanian telah menambah daftar panjang ketergantungan petani kecil pada proses produksi. Ketergantungan bibit, pupuk dan pestisida dari pabrik dan distributor serta jasa pengerahan tenaga kerja pertanian yang berimplikasi melambungkan biaya produksi. Semakin parah, petani tidak dapat menentukan sendiri harga hasil produksinya.
Ketika petani tidak berdaulat dalam menentukan harga produksinya, maka petani kecil tingkat kesejahteraannya tergantung pada mekanisme pasar yang rumusnya ditentukan oleh tawaran dan permintaan. Ketika banyak petani kecil panen, ternyata penawaran atas hasil panen petani tersebut di pasaran berlimpah dibandingkan dengan permintaan konsumen, akibatnya harga panen petani jatuh. Sebaliknya, ketika petani sedang tidak panen dan membutuhkan produk pertanian untuk dikonsumsi, dia harus membeli dengan harga yang lebih tinggi. Petani dibiarkan kepanasan dan kedinginan sendiri tanpa perlindungan yang memadai.
Kondisi seperti ini telah membuat petani kecil apalagi buruh tani tidak berdaya. Pilihan untuk bertahan hidup, petani kecil harus mencari tambahan penghasilan atau menjual tanah miliknya yang paling berharga untuk kemudian menjadi buruh tani atau beralih profesi ke sector informal atau menjadi buruh di perkotaan. Kondisi diatas merupakan salah satu faktor penting yang membuat kemiskinan di perdesaan berkepanjangan.
Pembangunan Jawa Tengah perlu menitik-beratkan pada REMBUGAN
dalam penguatan kawasan perdesaan, bukan sebagai penyeimbang perencanaan dan
pengalokasian anggaran yang “bias kota” tetapi untuk mewujudkan Jawa Tengah
berdikari. Apabila perdesaan sejahtera, maka masyarakat perdesaan tidak menjadi
beban perkotaan tetapi malah menjadi penopang pertumbuhan dan kesejahteraan
perkotaan.
Saudara-Saudara,
Pembangunan nasional, selain bias perkotaan, juga masih didominasi oleh pembangunan yang bersifat sektoral yang terpusat melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Tugas Pembantuan (TP) langsung ke kabupaten/kota. Meskipun Gubernur merupakan kepanjangan tangan pusat didaerah, dalam prakteknya sering tidak dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan secara langsung.
Hambatan sektoral pusat menjadi semakin memberatkan koordinasi dan sinkronisasi program oleh Gubernur, karena satuan otonomi daerah secara nasional difokuskan pada kabupaten/kota. Akibatnya posisi gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan, terreduksi sebagai pelengkap program-program pusat, disatu pihak, dan di pihak lain Gubernur tidak mempunyai kewenangan dalam pembinaan dan pengawasan pada tingkat kabupaten/kota.
Batin Saya Berontak !
Kehendak untuk berjalan ini terhambat oleh sistim tata kelola pemerintahan kita di era ini yang tidak memberikan peluang bagi Gubernur Jawa Tengah bertindak langsung seperti halnya saudara saya : Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, Gubernur D.I. Yogyakarta maupun Gubernur Aceh. Tetapi rasionalitas saya menyampaikan, bahwa Gubernur adalah Wakil Pemerintah Pusat di Daerah siap melakukan Rembugan dengan Para Bupati/Walikota dan siap melakukan Rembugan dengan para Kepala Desa-Kepala Desa di Jawa Tengah guna melaksanakan Wiwitan Pembangunan untuk bersama membangun Kuasa Rakyat. Mari kita Prioritaskan penyelesaian pembangunan dengan rembugan dan menaruh kepercayaan bahwa Rakyat yang kuat akan mendukung pemerintahan yang kuat, dan akan menghasilkan negara yang kuat.
Tuntunan orang tua agar anak menaiki tangga tebu Arjuna dalam upacara tedhak siten, memberi pitutur bahwa dalam menjalankan tugas harus dijalankan sepenuh hati, ini berasal dari kata “tebu”, yang merupakan “sanepan” “anteping kalbu” secara baik dan benar. Pitutur ini sebagai spirit utama reformasi birokrasi, yang dalam menjalankan tugas menggunakan prinsip “mboten korupsi, mboten ngapusi” untuk meningkatkan moral dan harga diri birokrasi.
Kerja !!! Rembugan !!! Mari Belajar dari daya hidup rakyat!!!
Mereka para ibu buruh gendong di pasar-pasar, berani kerja, berani hidup. Pak Tani di tanah-tanah sawah yang mulai menyusut, kepemilikannya perlu untuk dipastikan: Kami Berbahagia! Karena merekalah Negara dan bangsa ini lahir. Rakyat sebagai Tuan di Republik Indonesia. Gubernur hanya pelaksana mandat rakyat dan perlu mengajarkan kemerdekaan dan kebangsaan, karena ini adalah cita-cita berbangsa dan bernegara.
Kebhinekaan berikut dengan daya hidup, vitalitas sosial, di tengah masyarakat Jawa Tengah yang tersebar dari Purbalingga sampai dengan Kendeng Utara mengajarkan kita: cinta Tanah dan Air. Inilah sendi dasar kecintaan pada Tanah Air. Karena semangat dan cita-cita hidup bersama sebagai bangsa dapat digali dari keberagaman budaya di tengah masyarakat Jawa Tengah. Ke-Bhineka-Tunggal-Ika-an adalah kekuatan. Sendi-sendi ini dibangun diatas ide Kedaulatan atas Tanah dan Kedaulatan Atas Air. Kedaulatan pengambilan keputusan untuk mengelola sumber daya strategis demi kemakmuran Rakyat Jawa Tengah.
Pemerintahan Jawa Tengah sangat bersyukur tentang keberagaman ini. Keberagaman tidak hanya pada suku dan agama melainkan juga kepercayaan mereka, para orang tua murid dari Tionghoa, dari Arab, dari Thailand, dari Malaysia yang menaruh kepercayaan untuk menitipkan generasi pembangunan mereka: anak muda penerus bangsa untuk sekolah di Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Prioritas pendidikan yang membumi pada tradisi Jawa dan perlindungan terhadap kreatifitas dan daya hidup masyarakat, sebenarnya cermin sikap jiwa Pancasilais dalam praktik.
Di Jawa Tengah industri rakyat telah tumbuh dan berkembang secara meluas. Bahkan sebelum negara ini terbangun. Para ahli antropologi lingkungan bahkan memperkirakan kawasan yang dikenal sebagai “Perdikan” telah mampu tumbuh dan memiliki daya produktifitas yang tinggi, berbasis pada kekayaan sumber daya alam. Cerita-cerita rakyat yang berkembang di Jawa Tengah menempatkan rembugan sebagai pola pemanfaatan Tanah dan Sumber Daya Agraria seperti halnya sumber air, gunung, waduk dan sebagainya, hidup dan menjadi rujukan utama bagi cerita suburnya Tanah Jawa Tengah. Oleh karenanya, urusan tata kelola sumber daya agraria di Jawa Tengah, perlu dibangun melalui Rembugan dan makaryo gandengan. Rembugan, pranata sosial yang mampu mendesain aturan untuk mengatur norma dasar sekaligus penerapan sanksi sosial yang justru menghormati tradisi yang hidup di masyarakat Jawa Tengah. Sanksi sosial yang tidak hanya memiliki efek jera tetapi juga membangun kesadaran.
Bathin saya bergejolak, Menatap Kemiskinan dan pengangguran di Perdesaan sebagai akibat tertutupnya akses tanah garapan petani gurem dan buruh tani. Pijakan hidup rakyat perdesaan menjadi rapuh karena dua sumber daya pokok perdesaan yaitu Petani dan Lahan selama ini cenderung terpisah. Maka dari itu, perlu difasilitasi agar keduanya bersatu, bersinergi menjadi kekuatan produksi daerah, melalui kerjasama antar daerah, melalui kemitraan melalui rembugan. Rembugan telah mentradisi sebagai alat penyelesai masalah bersama. Hampir tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan melalui rembugan. Tradisi ini terbukti dalam pepatah “ono perkara, yo do dirembug.” Oleh karenanya, saya menghimbau lakukan rembug tani, rembug buruh, rembug nelayan, rembug desa, rembug gunung, rembug sungai….agar seluruh sumber daya dapat termanfaatkan secara produktif. Agar sumber daya agraria di seluruh Tanah Tidur dan Tanah Terlantar ditanami, ditanami dan ditanami !!!
Dengan keterbatasan saya sebagai Gubernur Jawa Tengah: saya mengajak kepada semua para Bupati dan Kepala-kepala desa untuk berembug dan berlomba-lomba “Menjadi Guru di Masa Kebangunan!“ Bersama-sama bergotong-royong membangun Desa, bersama-sama melakukan SAMBATAN. Tradisi Gotong Royong harus dipertahankan sebagai identitas kebudayaan warga Jawa Tengah.
Saudara-saudaraku sesama rakyat Jawa Tengah,
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia mengajarkan kepada kita : “Berdikari! Berdiri di atas Kaki Sendiri!” Karenanya, Kedaulatan di segala bidang adalah senjata paling ampuh dalam menumbuhkan nilai demokrasi yang sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat Indonesia.
Ke depan, senjata perang cepat atau lambat akan berkurang perannya, ketika nilai-nilai demokrasi telah diyakini sebagai nilai-nilai dasar universal dan perdamaian sudah menjadi keniscayaan. Pada saat inilah pangan dan energy menjadi sektor strategis yang akan menjadi perhatian utama dari para pengambil keputusan di seluruh dunia. Kenyataan ini telah memberi keyakinan pada saya bahwa pangan dan enerji merupakan dua sumber daya strategis yang harus dijadikan dasar dalam membangun Jawa Tengah.
Lebih dari enam puluh satu tahun yang lalu Bung Karno telah
mengingatkan pada bangsa Indonesia “Pangan Rakyat adalah soal hidup dan mati”.
Hukum universal kehidupan adalah Pangan.
Hari ini persoalannya bukan karena tidak ada makanan, melainkan proses produksi dan distribusinya tidak dilangsungkan berdasarkan keadilan. Sering kita mendengar produksi makanan yang kelebihan dibuang begitu saja, sementara di sikitarnya orang membutuhkannya. Begitu pula, makanan yang tidak terjual dari super market lebih baik di buang ke tempat sampah dari pada dikasihkan orang yang membutuhkannya.
Tahu dan Tempe merupakan jenis makanan yang menjadi bagian
hidup sehari-hari masyarakat Jawa Tengah. Ternyata untuk memenuhi kebutuhan
kedelai, kita masih harus mengimpornya. Lebih galau lagi, ketika mendapat
kenyataan bahwa semakin hari kebutuhan gandum kita semakin besar. Sementara,
gandum tidak tumbuh di Jawa Tengah. Lebih mengenaskan lagi, seperti apa yang
terjadi di Brebes. Ketika panen raya bawang merah sedang terjadi, dalam waktu
bersamaan, masuk bawang merah impor ke Brebes. Harga panen petani langsung
anjlok. Bawang merah impor yang masuk ke sentra bawang merah Brebes ini, secara
otomatis akan terdistribusikan ke seluruh Indonesia seolah-olah sebagai bawang
merah produksi Brebes.
Kenyataan demikian menunjukkan bahwa dengan ketahanan pangan tidaklah cukup. Ketahanan pangan hanya berbicara kecukupan pangan tanpa mempedulikan pangan tersebut dari mana, jenisnya apa dan bagaimana datangnya. Apa yang kita butuhkan adalah kedaulatan pangan, dimana dalam memenuhi kebutuhan pangan, kita dapat menentukan sendiri kebijakan dan strategi produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang sehat, sesuai dengan sumber daya dan budaya setempat, dengan metode ramah lingkungan, berkeadilan serta berkelanjutan.
Wiwitan untuk memulai langkah Daulat Pangan di bumi Jawa Tengah, para leluhur telah mengajarkan kita dengan cara menanam. Bagi setiap orang warga Jawa Tengah, tua dan muda, diimbau untuk membiasakan diri, membudayakan sikap dengan menanam setiap harinya satu pohon, satu tanaman. Wiwit menanam sayuran, rempah, empon-empon, dan bebuahan di halaman rumah. Wiwit menanam pepohonan kayu produktif di pinggir jalan. Wiwit menanam jagung dan singkong sebagai pagar kebun.
Dengan menanam pohon setidaknya satu setiap harinya, merupakan latihan kedisiplinan untuk menghargai alam dan diri sendiri, karena tanpa hasil bumi, kita akan mati. Menanam, adalah perwujudan rasa terimakasih pada Tuhan Pencipta Alam atas kesuburan tanah bumi Jawa Tengah. Dengan menanam kita memupuk harapan bahwa suatu saat pepohonan itu akan bertumbuhan, berbunga dan berbuah. Dan, dengan menanam kita merawat kembali dan memulihkan alam dari degradasi sumberdaya alam yang telah dijarah para Nekolim, para penjajah asing gaya baru, untuk menguasai bumi Republik ini, untuk menguasai bumi Jawa Tengah.
Melalui gerakan wiwit menanam, kita kembali berupaya keras menghidupkan kembali dan mengembangkan kecerdasan para leluhur dalam menciptakan benih dan bibit serta tanaman pangan dan tanaman produktif lainnya. Kita tahu, bahwa dengan menanam pohon, kita tidak hanya akan memanen bunga, buah dan kayunya, tapi juga akan memanen air dan udara segar dan sehat. Tanpa air kita mati. Tanpa Udara sehat kita akan sakit.
Dengan budaya menanam, kita akan mengurangi impor bahan pangan serta bisa mencukupi kebutuhan akan pangan kita sendiri. InsyaAllah, dengan ijin Tuhan, bila kita melakukan Gerakan Wiwit Menanam akan menjadi terlatih serta berbudaya menanam, maka Kedaulatan Pangan di bumi Jawa Tengah tercinta ini, akan terwujudkan! Maka dari itu: Tanam,tanam,tanam!
Selain Pangan, adalah Energi. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, kita bergantung pada pasokan listrik dan minyak bumi. Listrik mati, instansi pemerintahan kita lumpuh. Pelayanan tidak berjalan dan rakyat pasti terbengkalai. Dari sejak ditemukan listrik hingga sekarang, kita belum belajar bagaimana mengelola pelayanan publik kita hingga bisa nyaman, murah dan real-time. Listrik semestinya menyediakan ini. Sekarang ini kita dihadapkan pada rendahnya cadangan minyak bumi dan lemahnya terobosan solusi terhadap energi terbarukan.
Jawa Tengah khususnya dan Indonesia pada umumnya belum mampu mandiri atau bahkan berdaulat atas sumber – sumber energi di bhumi pertiwi ini. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak kita penuhi dari import, import dan import !. kita menjadi negara peng-import minyak karena sesat pikir dari tata kelola energi nasional kita. Kita tidak berdaulat dalam memilih sikap pengembangan industri energi nasional. Dengan demikian, ke-segera-an untuk melakukan substitusi energi semisal pemanfaatan gas dan batubara harus di kelola secara simultan dengan penyediaan Energi Baru Terbarukan.
Bumi kita nyata memproduksi Gas dan Batubara. Bahkan inovasi
teknologi terkini yang kita kuasai telah mampu mengelola keterbatasan
penyediaan dan distribusi energi kita. Sementara itu kita lupa bahwa Bumi kita
nyata menyediakan secara melimpah Energi Baru Terbarukan seperti sinar
matahari, angin, panas bumi, kotoran ternak, bahkan singkong, bambu, atau pun
kotoran kita sendiri itu melimpah. Ini adalah sumber pokok energi terbarukan
itu !
Awas !!! Sikap diam kita, dengan membiarkan sumber energi di Bumi kita ini dikuasai oleh asing maka akan membawa kita tidak hanya pada krisis energi tetapi juga krisis moral dan krisis kecerdasan. Dari Jawa Tengah kita bangun sikap berdaulat atas sumber – sumber energi seperti Minyak Bumi, Gas, maupun Batubara. Dan, bergerak aktif melalui rembug-rembug desa dan rembug-rembug warga untuk membangun laku produktif pemanfaatan sumber daya energi terbarukan. Contoh nyata di masa lalu, kreatifitas pak Mukibat dalam menyambung ubi karet ke ubi kayu biasa adalah hasil rembug dan pelatihan antara petani dengan petugas penyuluh pertanian di masa Bung Karno. Penyelesaian krisis energi, dimulai dari keterlibatan aktif rakyat dan sikap aktif jajaran pemerintahan Provinsi Jawa Tengah untuk menggali, memproduksi dan mengelola secara adil sumber potensial yang melimpah seperti Bio-gas, Bio-etanol, Bio-mass dll yang ada di bumi Jawa Tengah sebagai sumber dari kedaulatan Energi Baru Terbarukan Jawa Tengah.
Saudara-saudaraku sesama rakyat Jawa Tengah,
Di era globalisasi, ilmu pengetahuan, teknologi informasi, komunikasi dan transportasi terus berkembang dengan cepat dan pesatnya. Perkembangan ini, sangat berpengaruh terhadap struktur dan nilai-nilai masyarakat. Masyarakat mempunyai akses yang sangat luas terhadap barbagai macam informasi, mulai dari informasi tentang acara hiburan, ilmu pengetahuan, kehidupan berbagai macam etnik sampai ke tata kelola dan kebijakan pemerintahan di seluruh dunia. Dengan demikian masyarakat tidak dapat lagi dibodohi dan ditinggalkan dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan arah pembangunan yang terkait dengan kepentingan publik. Pengetahuan, informasi, keahlian, ketrampilan dan pengalaman yang dimiliki oleh masyarakat merupakan potensi yang sangat besar untuk menjawab problem yang dihadapi oleh masyarakat maupun Negara dan pemerintah.
Kecanggihan dan murahnya teknologi komunikasi telah memungkinkan masyarakat untuk mengembangkan dialog dan jaringan yang tidak ada batasnya. Pemuda desa di Klaten, melalui internet dapat lebih akrab dengan teman-temannya yang tinggalnya tersebar di seluruh penjuru dunia, dibandingkan dengan pemuda yang tinggal di dekatnya. Seorang profesional muda yang tinggal di Boyolali, bisa bekerja untuk lembaga/perusahaan yang letaknya ribuan kilometer. Melamar pekerjaan dikirim melalui internet, penerimaan diberitahukan melalui internet, diberi tugas melalui intenet, gajinya dikirim melalui internet, kalau ada problem konsultasinya juga melalui internet dan dipecatpun juga melalui internet.
Yang belum dilakukan dengan sepenuh daya adalah pemanfaatan teknologi internet itu untuk kepentingan produktif. Kita bisa belajar bahasa dunia dan menyerap ilmu pengetahuan yang terhampar. Kita bisa membangun jaringan kerja, jaringan pengembangan ilmu pengetahuan, maupun jaringan bisnis sekalipun. Jaringan internet untuk bisnis atau usaha bersama ekonomi bahkan sindikat ekonomi semua warga Jawa Tengah. Sementara itu, Pemerintah sudah menyediakan fasilitas internet sampai di tingkat Kecamatan bahkan desa. Maka dari itu, marilah kita melakukan Wiwitan Pemanfaatan Teknologi Informasi untuk laku produktif itu!
Masalah muncul ketika struktur masyarakat berubah. Ada sebagian masyarakat yang dapat memanfaatkan kecanggihan informasi, komunikasi, transportasi dan pengetahuan, kemudian menjadi tidak lagi berpegangan pada tatanan masyarakatnya. Ada masyarakat yang terpengaruh dengan perkembangan yang gencar dipertontonkan media massa, dan menjadi tidak hirau lagi dengan budaya asalnya yang dianggap sudah ketinggalan jaman. Ada kelompok masyarakat yang disatu pihak menolak arus globalisasi, tetapi di lain pihak tergantung pada kenyamanan yang ditawarkan oleh produk globalisasi sehingga kehilangan konsistensi dan keberakaran di dalam masyarakatnya sendiri. Ada kelompok masyarakat yang tidak mampu memanfaatkan kecanggihan yang dibawa globalisasi sehingga kalah, terpinggirkan dan menyerah pada tatanan masyarakat yang selama ini melindunginya. Dan terakhir ada kelompok masyarakat yang menolak terhadap arus globalisasi dan berusaha keras untuk mempertahankan tata nilai masyarakat yang selama ini hidup.
Bersamaan dengan terpolarisasinya masyarakat, terdapat arus besar yang mendorong terjadinya pola hidup budaya tunggal. Mulai dari potongan rambut, yang dulunya di tiap daerah mempunyai kekhasan potongan rambut, hari ini mode potongan rambut pemuda di New York, pemuda di Madras, Meksiko, India, Istambul, Rotterdam, Penang dan Purwokerto sulit dibedakan. Begitu pula jean yang robek, yang dipakai oleh pemuda dan pemudi di seluruh dunia. Juga model ransel. Tiba-tiba semua orang menggunakan ransel, tidak peduli ransel yang harganya puluhan juta atau ransel yang harganya Rp 90.000 ,-. Yang penting ransel. Hampir di semua kota besar, dapat dipastikan ada burger Mc Donald, Kentucky Fried Chicken, Hoka-hoka Bento yang rasa, bentuk dan cara penyajiannya sama. Begitu pula tren music, tari hingga rancang bangunan. Sekarang menjadi sulit untuk membedakan antara arsitektur dan struktur kota-kota besar dari Negara yang satu dengan Negara lainnya.
Derasnya arus gaya hidup metropolitan global, perlu diimbangi dengan kokohnya budaya lokal, sehingga budaya dan kepribadian bangsa menjadi pelindung utama dari gempuran budaya asing.
Saudara-saudaraku sesama rakyat Jawa Tengah,
Semua kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan seperti tersebut di atas merupakan realitas yang kita hadapi hari ini. Jawa Tengah merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Indonesia bagian dari Asean serta dunia. Kita hidup dalam satu dunia yang satu sama lainnya saling terkait dan mempengaruhi. Pada posisi seperti ini, kalau kita sebagai satu kesatuan wilayah Jawa Tengah tidak berdaulat, kuat dan maju, maka kita hanya akan menjadi penonton dan konsumen yang tergantung pada arus global yang tidak lagi mengenal batas-batas wilayah administrasi Negara maupun kebudayaan.
Kenyataan diatas menuntut pada kita untuk tidak boleh berpikir dikotomis, yaitu melihat persoalan dengan salah – benar, baik – buruk, kawan – lawan, pro – anti dalam menganalisa dan menjawab persoalan-persoalan yang muncul di dalam masyarakat. Kalau kita pro rakyat bukan berarti secara otomatis anti kekuasaan; kalau kita pro buruh bukan berarti harus anti pemilik modal; kalau kita pro petani bukan kemudian berarti anti pemilik lahan besar; kalau kita pro pedagang kecil bukan berarti lalu anti pedagang besar. Melalui rembugan selalu ada alternatif ke dua, ke-3, …..dst.
Bung Karno mengatakan : “Orang tidak dapat mengabdi kepada Tuhan, dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si-Miskin”.
Sudah barang tentu kita harus berpihak dan membela si miskin atau mereka yang lemah secara politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tetapi bukan berarti harus melawan orang kaya, maupun orang kuat secara politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tidak! Menangani masalah kemiskinan tidak berarti harus memiskinkan orang yang sudah kaya (kecuali hasil korupsi). Masalahnya, ketika pengangguran dan kemiskinan tidak ditangani secara serius, kesenjangan sosial semakin hari semakin lebar. Ketika pengangguran dan kemiskinan terjadi bukan karena masalah kemalasan dan pilihan, atau karena masalah struktural, maka disana akan tumbuh kecemburuan sosial dan kefrustrasian. Kondisi sosial yang karut-marut ini, apabila harus terus menerus diberi tontonan orang mengkonsumsi barang-barang mewah, penyelenggaraan hiburan mewah yang gemerlap dan disuguhi dengan berita-berita tentang pencurian uang Negara, yang dilakukan dengan terang-terangan serta penyalah gunaan kekuasaan tanpa sungkan atau rikuh, maka kerusuhan sosial seolah sudah diprogramkan. Dan kita semua tahu, kerusuhan sosial hanya akan mengembalikan capaian pembangunan ke titik nol, bahkan minus. Karena harga sosial, politik, ekonomi dan budaya yang harus dibayar akibat kerusuhan sosial itu adalah sangat tinggi. Kita harus menghindari budaya-merugi semacam ini.
Saudara-saudaraku sesama rakyat Jawa Tengah,
Menyelesaikan masalah besar di Jawa Tengah terkait dengan pembangunan infrastruktur, penanganan masalah pengangguran, pengentasan kemiskinan, penegakan kedaulatan pangan dan enerji, tidaklah dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah. Namun pemerintah, Gubernur, menjadi fasilitator sekaligus penggerak konsolidasi seluruh potensi yang dimiliki; kaum intelektual, akademisi dan professional, lembaga-lembaga keuangan dan para pebisnis swasta, perusahaan-perusahaan swasta, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, organisasi profesi, organisasi sektoral seperti serikat petani, nelayan dan buruh, yang semuanya sepakat untuk mewujudkan visi menuju Jawa Tengah Sejahtera dan Berdikari – melalui ajaran Tri-Sakti, Operasionalisasi dari esensi Kedaulatan dan Kebangsaan di Jawa Tengah.
Operasionalisasi dari konsolidasi diatas nilai “ Mboten Korupsi, Mboten Ngapusi” akan menjadi hidup, apabila gotong royong dijadikan sebagai sendi dasar untuk membangun kesepakatan sosial dan denyut nadi kinerja pemerintahan provinsi Jawa Tengah, lima (5) tahun mendatang ini.
Untuk itu, tidak ada pilihan lain selain mengerahkan segala sumber daya yang tersedia dalam lima (5) tahun ini, untuk memfokuskan titik konsentrasi pembangunan, melalui penilaian, perhitungan cermat, sekaligus berpijak pada kepribadian diri budaya Jawa Tengah melalui penghormatan terhadap daya-hidup- rakyat Jawa Tengah untuk modal dasar pembangunan. Mulai dari titik ini, tahun 2014 kita wiwiti makaryo jawa tengah berdikari melalui langkah wiwitan tahun pertama - tahun 2014 sebagai tahun infrastruktur Jawa Tengah.
Saudara-Saudaraku sesama Rakyat Jawa Tengah yang budiman,
Di akhir pidato ini saya ingin mengingatkan MANTRA anak-anak di masa lalu. Anak-anak desa yang menggembala kambing di pematang-pematang maupun anak-anak kota yang bermain di lapangan sambil menaikkan layang-layang. Tatkala angin tidak ajeg semilirnya dan tidak segera mampu mengangkat naik kibar layang-layangnya, mereka ini berdendang keras di jeda angin:
“Cempe-cempe undangna barat gedhe tak upahi duduh tape… Cempe-cempe undangna barat gedhe dak upahi duduh tape…” Bersahut-sahutan, berbalas-balasan, mengalun, menghimpun daya!
Wahai angin, datanglah semilir… dan hembuskan laju kibar layang-layang dan sampaikan pesan: JANGAN BERHENTI MELAKUKAN PERUBAHAN. Bangkit dan tegaklah. Bergiat kita bersama, bergerak menuju Jawa Tengah Sejahtera dan Berdikari.
Padamu negeri, kami berjanji…
Padamu negeri, kami berbakti…
Padamu negeri, kami mengabdi…
Bagimu negeri, jiwa raga kami…
Merdeka!