4 Juni 2015

Restart!

Bagaimana mungkin melahirkan generasi kreatif yang mencipta, yang solutif, bila anak-anak kita tidak mempelajari apa yang sebenarnya terjadi dalam sehari-hari hidup bangsanya. Persekolahan kita hanyalah alat dalam sistem industri untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja, penjaga kesinambungan kapital orang-orang kaya. Dan mungkin itu bukan masalah, akan tetapi kemampuan industri untuk menyerap semua lulusan adalah mimpi kosong. Maka kembalikanlah cita-cita sekolah sebagai pusat kebudayaan masyarakat, sebagai tempat anak-anak bahagia menuntut ilmu dunia akhirat. Kembalikanlah sekolah sebagai milik masyarakat.

Seperti apa? seperti sistem pendidikan pesantren jaman dulu, sanggar, padepokan, learning center. Ia benar-benar milik masyarakat, ia berkembang dan dibangun oleh masyarakat, ia bukan lembaga yang hidup dengan anggaran pemerintah, ia adalah bagian dari masyarakat. Ia adalah solusi dari permasalahan masyarakat.

Jutaan anak-anak pedesaan Indonesia belajar sesuatu yang tak ada hubungannya dengan hidup mereka sehari-hari. Dan itulah mengapa sekolah adalah tempat yang sangat mebosankan - kecuali menjadi tempat pacaran. Sampai saat ini ruang-ruang kelas di sekolah mirip dengan barak-barak di zaman perang, kering dan kaku, seperti bangsal-bangsal rumah sakit, seperti tempat-tempat penampungan sementara pengerah tenaga kerja.

Batik Tulis Madura.

Itu bukan lucu. Menjadi miskin di negeri yang memiliki banyak dan ragam potensi. Menjadi pengangguran di tanah yang tanaman dengan mudahnya tumbuh dan ikan-ikan yang siap melindungi dari kekurangan gizi. Merendahkan hal-hal yang dimilki sendiri. Terpesona dengan apapun yang datang dari luar negeri. Menganggap kita tak kan bisa apa-apa tanpa mereka.

Persekolahan dan orang tua di rumah semakin menjauhkan anak-anak dari padi, garam, pakan ternak, cangkul, perahu, hutan yang harus tetap terpelihara, sungai yang harus tetap mengalir. Juga menjauhkan dari gotong-royong, kejujuran, keberanian, kepedulian dan kecintaan pada budaya leluhurnya. Ini bukan soal salah benar. Tetapi belajarlah dari apa yang terjadi saat ini. Banggalah karena membelanjakan uang kalian untuk produk-produk lokal. Ujilah. Beri masukan agar senantiasa terus berkembang.

15 September 2014

Tersesat

BLOG. Telah lama saya tinggalkan. Tidak menulis lagi di blog. Tersesat. Sosial media, Facebook, Twitter terlalu meminta perhatian. Saatnya kembali. Tak ingin tersesat lagi.

Untuk memulai lagi. Sekedar berlatih menulis kalimat demi kalimat, saya menyalin paragraf berikut dari artikel tulisan Ariel Heryanto dalam buku 1000 Tahun Nusantara halaman 543.
Hingga di akhir abad ke-20, masayrakat ideal itu tetap menjadi angan-angan, slogan dan cita-cita belaka bagi kebanyakan masayrakat di dunia yang tercabik-cabik rasisme, seksisme, kesenjangan kaya-miskin atau korupsi politik. Akan tetapi, angan-angan dan slogan 'bangsa-negara' seakan-akan telah ditelan mentah-mentah jutaan penduduk dunia. Kebangsaan dan

19 Maret 2014

Kreatifitas mereka mati.


Kreatifitas terbunuh di sekolah. Anak-anak menjadi alat pemenuhan ambisi guru, orang tua dan juga pemerintah. Belajar menjadi tak bermakna. Sebesar-besarnya sumberdaya sekolah dikerahkan hanya untuk sebuah ujian nasional dan administrasi. Kita benar-benar dalam jalur celaka tetapi setiap peringatan tak ada yang mau mendengarkannya.

Anak-anak Indonesia terpenjara dalam kelas-kelas yang kaku. Kecerdasan mereka mati. Kreatifitas mereka mati.