Sore hari setelah hujan deras di akhir oktober 99, saya berdiri di dekat perempatan jalan, menunggu teman yang akan mengunjungi kampung saya. Sudah empat puluh menit lebih sepertinya, teman saya belum juga datang. Badan saya kedinginan sampai hadir satu peristiwa di muka saya, peristiwa yang tak mudah dilupakan sampai sekarang.
Seorang istri diuntir-untir rambutnya, dipukuli, ditendang, diludahi, ditelanjangi di jalanan kampung. Istri itu menangis, menjerit, meronta memohon ampun kepada sang suami, namun tak seorang menggubrisnya. warna merah di sekujur tubuhnya, berlarik-larik seperti orang habis kerokan. Merah basah.
Penduduk berdesak-desakan, berlomba mendekati perempatan. Berbondong-bondong adu cepat berebut tempat terdepan. Berduyun-duyun anak-anak, suami- istri, kakek-nenek datang untuk menyaksikan 'adegan' secara live di TKP, persis seperti peristiwa pertama kali di kampung saya, diperkenalkan layar tancap oleh BKKBN sekitar tahun 80-an.
Tentu peristiwa itu, tidak sedap di pandangan saya, karena saya baru saja membaca makalah Dr. Ayu Sutarto, Budayawan dari Universitas Negeri Jember, tentang hak-hak perempuan dalam kesetaraan gender. Puluhan pertanyaan muncul dari dalam hati saya namun mengendap lagi ke dalamnya. Dan ribuan pertanyaan demi pertanyaan muncul dari mulut-mulut dari kerumunan orang sekampung.
Lastri (bukan nama sebenarnya) adalah seorang perempuan beranak satu, terkenal sebagai penggoda laki-laki.
Sukiman (juga bukan nama sebenarnya) adalah suami, mantan maling yang sudah tobat. Menikahi lastri, tiga tahun sebelum kejadian di perempatan jalan. Sukiman adalah seseorang yang merasa dirinya sang pahlawan ( seperti juga opini kebanyakan orang di kampung saya) menikahi 'perempuan rusak', mengangkat derajat Lastri dari lembah nista pelacuran menuju tempat mulia sebagai istri, sebagai ibu.
Kyai Musropah (juga bukan nama sebenarnya), adalah seseorang yang karena langkanya di daerah perkebunan, sulit mencari orang yang paham benar ilmu agama, dipanggil pak kyai walau awalnya hanya bisa baca kitab barzanzi. Beristri satu punya anak tiga. Dibayar oleh perusahaan perkebunan untuk merawat kebersihan masjid, mengajar baca Qur'an dan bertugas adzan 5 kali sehari semalam.
Kejadian itu tidak pernah di bawa ke pengadilan. telinga saya terlalu sulit untuk tidak mendengarkan desas desus yang beredar setiap detik di warung, di masjid, di dapur, di sungai, di poskamling, di setiap-tiap orang berkumpul.
“Dasar pelacur.”
“Mana mungkin seorang kyai yang rajin beribadah tertarik dengan perempuan jelek seperti Lastri."
“Sukiman tak lelaki.”
Para pemuda juga berdesas berdesus sambil menggenggam botol minuman topi miring di tangannya.
“Lastri sex maniak."
“kenapa lastri tidak coba lawan kita-kita saja ya, satu lawan lima. ha... ha ...ha ...ha ...."
Gadis-gadis kampung juga berdesus, "Lastri gatel terus.”
Sekian banyak desas desus itu ujungnya tetap, fokusnya sama, muaranya satu, Lastri mantan pelacur tidak bisa berterima kasih pada Sukiman yang telah mengangkat derajat hidupnya. Desas desus yang terdengar kecil sekali, seperti orang mendesis, "Musropah kyai gadungan".
Dengan kegelisahan yang mendalam, antara marah dan malu yang ditanggung oleh suami, Sukiman datang ke rumah kyai Musropah, kira-kira setelah sholat isya dan menangis sejadi-jadinya di depan kyai, " mohon maaf pak kyai, istri saya telah menggoda kyai."
Jika kebetulan anda disana, apa desas dedus desis yang akan anda keluarkan?
Semoga menginspirasi.