1 April 2011

Saya Ingin Menampar Mereka Tapi Saya Takut.

Kemajuan bangsa dimanapun di seluruh dunia, bergantung kepada sejauh mana perhatian pemerintah dan masyarakat secara luas terhadap kualitas layanan pendidikan (sekolah).

Catatan saya ini, mencoba melihat sisi yang berbeda dari biasanya kita dengar tentang ironi pendidikan di negeri ini, yang selalu menyoroti kegagalan pemerintah pusat dalam mengelola pendidikan. Sedangkan sekolah dan guru masih berkubang dengan paradigma lama, sebagai institusi dan orang suci yang sulit menerima kritik. Sudah terlalu muak kita mendengarkan cerita-cerita tentang bangunan sekolah ambruk, atap bolong dan bocor, bangku belajar yang kurang, minim fasilitas dan sederet kisah-kisah para guru yang tak sejahtera lantaran gaji mereka yang memang tak layak, tunjangan yang 'disunat', guru merangkap pedagang bakso, tukang ojek, makelar dll. Bosan.

Dua minggu terahir di bulan Februari 2011, saya mengunjungi sekitar dua puluh sekolah dasar negeri dan sekitar delapan sekolah dasar swasta di kota dan desa dalam wilayah kabupaten. Saya memotret aneka persoalan yang dihadapi oleh sekolah, orang tua dan murid. Saya berbincang dengan mereka, mulai dari kepala sekolah, guru dan seringkali saya singgah di beberapa rumah wali murid dan juga orang-orang tua yang tidak menyekolahkan anak-anaknya.
Begini diskripsi dan pendapat yang tidak dapat di generalisasi berlangsung di semua sekolah dasar:

Kepala sekolah dan guru, miskin wawasan dan kreatifitas.


Kepala sekolah adalah posisi sentral di sekolah-sekolah itu. Sebagian besar kepala sekolah tidak mengajar, walaupun mereka tahu bahwa jabatan kepala sekolah hanyalah tugas tambahan yang dibebankan kepada mereka selain mengajar. Kepala sekolah mengepalai lingkungan sekolah dan guru-guru. Dia, figur yang dikenal dengan orang yang lebih dekat ke atas daripada ke bawah dengan guru, murid apalagi wali murid. Kesibukan kepala sekolah sebagian besar berhubungan dengan tugas-tugas administrasi, seperti laporan dana BOS dan penggunaannya, rapat-rapat di luar sekolah seperti PGRI, rapat-rapat di UPTD, juga rapat-rapat di kantor kecamatan. Kepala sekolah datang di pagi hari, memantau keadaan, kemudian pamit ke beberapa teman guru, dan seringkali tak kembali karena urusan yang diurusnya seringkali sampai siang hari.

Secara fisik, sekolah-sekolah ini sangat susah untuk menciptakan rasa rindu bagi semua warganya untuk kembali ke sekolah. Bukan hanya kotor, tetapi juga gersang dan kosong. Ruang-ruang yang nampak seperti gudang tak terurus, jauh dari harum, warna cat dinding yang 'norak', alat peraga IPA yang sepertinya belum pernah terpakai, berplastik dan berdebu. Tak ada kreatifitas dari kepala sekolah, dari guru, dari murid dan wali murid. Mereka seperti pasrah terhadap keadaan, entah sampai kapan. Mereka mengeluh murid mereka miskin. Mereka mengeluh tidak adanya dana untuk mengelola kreatifitas. Mereka mengeluh rendahnya motivasi murid. Mereka mengeluh murid lebih tertarik bermain PS (play station) ketimbang belajar di sekolah. Mereka mengeluh sarana dan fasilitas sekolah. Mereka mengeluh bantuan dana BOS yang minim. Mereka mengeluhkan kepala sekolah mereka sendiri, kepala UPTD, kepala dinas, kyai-kyai di sekitar sekolah, pengawas dan ketidakadilan sertifikasi. Mereka mengeluh tidak ada buku-buku penunjang, mereka mengeluh berat mengajar kelas 1 karena muridya tidak melewati pendidikan di TK. Guru-guru kelas 6 kebanyakan adalah guru-guru honorer muda yang memang lebih bertanggung jawab dan bersemangat, tetapi mereka dibayar murah. Kepala sekolah nampaknya tidak ingin mengambil resiko karena murid-murid kelas 6 harus menghadapi ujian-ujian regional. Mereka mengeluh. Mereka mengeluh.

Saya ingin menampar mereka tapi saya takut.

Orang tua di kota yang mampu secara ekonomi menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah dasar swasta, lebih terjamin kata mereka. Bayar mahal tak masalah asal puas dengan guru-guru yang terlatih, sekolah dengan taman-taman yang rindang dan bersih. Fun school, fullday school, integrated school, international school. Sekolah-sekolah yang menggunakan papan nama berbahasa inggris juga bahasa arab. Tetapi itu hanya sebagian kecil dari anak-anak Indonesia. Sebagian besar anak, ada di desa dengan sekolah tanpa taman, tanpa perpustakaan, tanpa rindang bahkan seringkali tanpa guru di dalam kelas. Mereka tanpa sengaja didorong menyadari dan menerima saja takdirnya, bahwa begitulah hukumnya jika orang tua mereka bodoh dan miskin.

Saya ingin menampar mereka tapi saya takut.