1 April 2011

Ponitri, Pohon Sawo dan Abdul Karim

Aku pernah melihat gambar kerbau dan seekor burung di punggungnya. Kata Bu Murni guru SMP," Ini gambar simbiosis mutualisme". Kemudian ikan kampak dan ikan duri juga penyu laut dan ikan karang. Belakangan ini aku ingin memasukkan gambar koruptor dan jaksa, polisi dan pelanggar lalu lintas untuk melengkapi diskripsi simbiosis yang saling memberikan manfaat.


Aku sering tertawa melihat orang-orang berpakaian sarimbit di acara-acara manten, halal-bihalal. Suami istri beserta anak-anaknya berpakaian seragam besar kecil, seringkali motif batik, seperti rombongan marmot yang pamer birahi. Kata orang, mereka adalah keluarga bahagia, harmonis, serasi, sarimbit.

Aku tidak punya bapak, karena dia mati, setelah menitipkan air yang keluar dari kemaluannya di rahim ibuku. Tujuh saudara perempuan di atasku tak pernah saling bertemu sampai kami dewasa. Kami baru tahu bahwa anak pertama, kedua, ketiga, mati sebelum mereka remaja. Ibu bekerja dari pagi sampai jam 10 malam. Kami nyaris tidak bertemu, sebab ibu juga bekerja di hari minggu.

Suatu hari, seekor jin (aku sebut seekor, karena waktu itu, diskiripsi yang ada di otakku tentang jin adalah binatang raksasa, besar, jahat dan pemangsa) menyembunyikan aku di sebuah pohon sawo. Seingatku 2 hari, aku tahu dari catatan daftar hadir di sekolah, aku tidak masuk 2 hari. Sungguh jin goblok. Jin iseng yang menggoda manusia agar terjadi keributan di masyarakat yang akan mencari anak hilang. Jin itu tidak tahu, bahwa takkan ada satupun orang akan mencariku termasuk ibuku sendiri. Hal ini benar, sampai aku sadar. Aku menunggu sampai benar-benar tidak ada orang melihatku. Aku tidak ingin mengundang perhatian orang. Aku melompat turun dari atas pohon sawo. Sakit bukan main. Kakiku bengkong. Tapi aku tidak menangis, menahannya sampai rasa sakit itu hilang sendiri. Dari sini aku belajar, sakit itu karena dirasa.


Aku tidak tahu, bahwa ada kata ‘sarapan’ yang mengganti kata makan pagi, sebab yang kutahu, orang makan kalau lapar, atau makan kalau ada yang mau dimakan. Kemudian di sekolah, guru mengatakan bahwa makan itu tiga kali sehari semalam. Aku tertawa, dengan kalimat itu, tapi guruku terlanjur marah, dikira aku menertawakan resleting celana guruku yang terbuka.Ya, aku ingat, Abdul Karim guru itu.

Tidak ada ibu di rumah, tidak ada kompor, tidak ada tungku, tidak ada alat masak. Sesekali ibu akan membawa makanan sepulang kerja, sekitar jam 10 malam.

Aku senang bila banyak orang mati di sekitar kampungku, karena aku akan dapat jatah makan setidaknya 7 malam berturut-turut dengan pura-pura ikut tahlilan. Bila malam, di sebuah surau tempat aku tidur, hatiku sangat girang bila mendengar beduk masjid di tabuh tiga tiga, itulah tanda ada orang mati. Bunyi rejeki pikirku. Makananku. Sayangnya, tuan rumah tak selalu memberi hidangan nasi sepanjang tujuh malam. Sedih, saat orang tahlil berteriak-teriak, “amin... amin.... amin .. amin... amin.. ..” Aku melirik piring bergeser diantara kami. “Waduh kolak pisang, kecut kadang sepet, seringkali bikin perutku malah jadi mules.”

Dalam satu surat yang kutulis di suatu sore di bawah pohon kelapa, tidak jauh dari masjid, "Tuhan, buatlah orang mati ini bergiliran. 7 hari, 7 hari kemudian, 7 hari kemudian. Aku janji nanti kalau aku mati, yang makan seribu orang lebih, tidak 7 hari tapi 700 hari". Surat ini aku selipkan di songkok ngajiku, songkok nasional, kopiah anti air berwarna hitam.

Surat ini berhasil diselamatkan oleh teman ngajiku. Seorang perempuan benama Ponitri yang memungut surat ini dengan gemetar karena mengira itu adalah surat cintaku kepadanya. Dia katakan, surat itu dia temukan terjatuh dari kopiahku, saat teman-teman di masjid main lempar-lemparan. Dia menyimpannya di sela-sela Al Quran di rumahnya. Aku beruntung mendapatkan surat itu lagi.

Aku meninggalkan kampungku setelah lulus sekolah dasar. Hidup dalam dunia yang indah, aman dan bersahabat, walau aku tak tahu, keluarga itu apa, siapa bapak, apa peran ibu selain melahirkan. Mengalir saja, ya hidup saja, seperti sungai temanku, yang setia mengantarkan surat-suratku kepada laut, mungkin juga kepada Tuhan, mungkin juga hanya larut bersama kotoran manusia. Kepada gunung temanku, yang karena tingginya, aku bisa melihat barisan pohon cemara di kampungku dari atas sana.