11 Desember 2011

Untuk YK

Aku membaca catatankau di atas bis dalam perjalanan dari Jember menuju Banyuwangi setelah kuserahkan uang sepuluh ribu kepada kondektur. Aku membawa ransel, sepatu trekking dan topi rimba, tapi aku lupa ‘mencangking’ kacamata. Dan aku membawa virus untuk otakkau, bersiaplah untuk tertular jika kau tak kebal.

YK, aku ingin berbagi dengankau tentang hidup yang kau sebut penuh liku-liku. Aku ingin meluruskan carakau mendefinisikan bahagia yang menurutkau adalah suatu keadaan seseorang yang terpenuhi akan segala keinginan dan harapannya. Bagaimana bisa kau menilai apakah seseorang itu bahagia dan kecewa? standar apa yang kau gunakan bahwa aku adalah gembira atau sengsara? Apakah kau menilai manusia dengan apa yang ia pakai, dengan apa yang ia bawa, dengan apa ia pasang dinamanya? aku ingin mengentutikau. Sebab orang menagis belum tentu susah. Sebab orang tertawa belum tentu bahagia.

YK, manusia dilahirkan tidak dalam keadaan baik juga tidak dalam keadaan buruk, persis seperti binatang. Bedanya, kita punya kesempatan untuk menjadi manusia, sedangkan mahluk yang lain hanya bisa merindukan proses ini. Kera, adalah mahluk paling mendekati rupa manusia. Seekor kera menyimpan kerinduan yang mendalam untuk mencapai kesempurnaan manusia. Kerinduan pada kesempurnaan inilah yang memungkinkan seekor kera bisa berhati manusia. Sedangkan manusia yang kehilangan rindunya pada kesempurnaanya adalah mahluk berupa manusia tapi berhati kera.
Sesungguhnya, kerinduan akan kesempurnaan sebagai manusia inilah yang menjamin kita bisa disebut manusia. Tanpa itu, kita adalah monyet, buaya, cacing atau yang lainnya. Adakah kau rasakan kerinduan itu?

“Tak ada mahluk yang sempurna”. Ini propaganda setan yang sengaja disebarkan agar mahluk bernama manusia menjadi frustasi, pesimis dan merasa tak mungkin mencapai kesempurnaannya. Kesempurnaan menjadi jauh, dan kemudian sulit untuk didefinisikan. Setan menggantinya dengan kata “bahagia”. Lantas semua orang mencari kesana kemari, berlomba, mensyahkan segala cara agar bertemu ‘bahagia’. Hasilnya, kita tersesat di rimba raya propaganda dan bujuk rayu belilah ini belilah itu. Lihatlah, agama kita kuwalahan, hingga harus mengiming-imingi kita dengan surga dan menakut-nakuti kita dengan neraka, agar manusia mau kembali kepada usaha mencapai kesempurnaan. Politik iming-iming inilah yang kemudian hari terus menerus memandu manusia menjadi rakus, serakah, korup dan bahkan tega membunuh demi sebuah kata bernama ‘bahagia’.

YK, bahagiakah kita? Tidak YK, sama sekali tidak. Semakin kita cari di luar sana, semakin kita tidak menemukannya. Kenapa, YK? Karena bahagia itu adalah jelas-jelas hanyalah ilusi agar kita semakin tersesat. Jauh, jauh dan semakin jauh. Keburukan atau kejahatan itu tidak berasal dari luar sana. Itu berasal dari dirikau sendiri. Oleh karena itu, kau tak usah menyalahkan dirikau sendiri saat kau berbuat salah, sekaligus jangan merasa kau tak bertanggungjawab atas keburukan itu. Sama juga YK, kebaikan juga tak datang dari luar sana, dia ada dalam dirikau sendiri, dia adalah kerinduan akan datangnya kesempurnaan menjadi manusia, hakikat kita di ciptakan.

YK, di Hari Minggu aku bisa mencium harum parfumkau saat kau berangkat ke gereja. Apa kau bertemu Tuhan disana? Apa kau kesana demi iming-iming itu? Tuhanmu mengabulkan do’akau? Apakah orang-orang disana mengajakkau pada ilusi ‘bahagia’ juga?

YK, Apakah kau merasakan seperti yang aku rasa, saat aku di masjid di Hari Jum’at, HP ku tenggelam ke air disalah satu kamar mandinya. Itu HP mahal YK, senilai dua bulan gajiku. Dan sumpah, aku menyesal pergi ke masjid, dan berjanji tak kan kesana lagi. Toh Tuhan tidak mengerti susah payahnya aku bisa memiliki HP pujaanku. Lantas dengan segala daya, aku curi uang di laci kantorku untuk mengganti HP kesayanganku.

Dengan demikian, bukankan aku menempatkan HP derajatnya lebih tinggi dari Tuhanku? bukankah dalam sehari-hari kita lebih percaya harta benda yang kita punya dari pada pertolongan Tuhan? bukankah kita lebih percaya uang (nyata) daripada Tuhan (abstrak)? bukankah hari-hari kita hanya dipenuhi ketakutan kita menjadi miskin? bukankah hari-hari kita terus disiksa mempertahankan jabatan, pekerjaan daripada menyampaikan kebenaran? bukankah kita lebih hormat pada atasan, rekanan, juga kawan daripada orang tua kita sendiri? bukankah kita sehari-hari disibukkan membeli apa yang kita inginkan daripada apa yang kita butuhkan?

YK, sungguh kita hidup dalam rimba tipu daya.

YK, apakah kita manusia YK? Tidak YK. Kita adalah monyet.

Jember, 15 Maret 2011