17 Desember 2011

Ketika Itu (sebuah catatan untuk AF)

saya copykan sebuah tulisan di wall facebook saya (sunday, November 20, 2011. 8.40), dari salah satu siswa saya, AF, di kelas 11. Saya ingin berbagi jawaban tentang pertanyaan ini, semoga menginspirasi.

ANANG FAUZI
saya mau tnyak bgaimna bpk bisa mnjadi sukses hingga saat ini?... padahalx dahulu bpk tinggal di pelosok desa glantangan, yg mnurut saya itu jauh dari sarana unt mnunjang seorang dlm mraih pendidikan . dan apa komitmen anda saat itu?...... tlong jwb pak krena ini membuat terkesan!!!!

AF, terima kasih memuji saya. Saya senang, saya bisa menginspirasi hidup Anda. Terima kasih sobat, mengenal kampung saya bernama 'Glantangan' yang sering diplesetkan menjadi "Gelandangan", sebuah kampung khas PTP (perusahaan perkebunan karet kopi) yang membedakan anak pejabat dan anak-anak buruh perkebunan. Saya adalah salah satu dari anak -anak buruh itu, anak-anak yang waktu itu dihalangi untuk melanjutkan sekolah ke kota, karena harga komoditas perkebunan sedang berjaya di pasar internasional dan PTP memerlukan buruh-buruh bodoh yang bisa dibayar murah.

Ketika itu, saya belum tahu apa itu 'komitmen'. Sekitar 1984. Saya kelas IV. Saya suka sekali belajar geografi dan Bahasa Indonesia.

Ketika ibu saya mengatakan, "Kau berhenti saja sekolah, bantu mbakmu di kebun, kasihan dia". Saya menjawab, "Aku ingin sekolah buk."

Ketika kakak ipar saya mencari-cari dan menggeret saya untuk membantu pekerjaannya di kebun karet, saya bersembunyi di sebuah kamar mandi umum yang telah lama tak dipakai. 'Pesing', sempit tak beratap, dan tentu rumput liar dan taik kering. Saya takut.

Ketika tempat persembunyian itu ditemukan, saya berteriak melengking, " Aku ingin sekolah, kakkkkkk". Tetapi seringkali mereka tidak peduli. Kakak ipar saya juga memukul dan sepertinya dia 'enjoy' dengan 'game' itu.

Ketika saya tak bisa mengelak dan tak bisa bersembunyi lagi, saya membantu juga mbak saya bekerja sebagai buruh perkebunan. Di tengah berhektar-hektar kebun karet itu, saya teringat bangku-bangku lapuk di kelas, guru guru yang rapi, papan tulis hitam di depan kelas, kapur tulis patah-patah dan bola dunia di meja guru. Duh, bola dunia itu bagus sekali. Ingin saya bawa pulang, ingin saya bawa tidur, ingin saya peluk seperti guling*.

Ketika itu, di tengah ribuan pepohonan karet yang basah karena hujan semalaman, saya memeluk salah satu pohonnya yang tak begitu besar. Saya berbisik kepadanya," Duhai karet, aku ingin sekolah, bantu aku."

 *saya baru kenal, ada bantal panjang bernama 'guling' setelah saya sekolah di SMA. Saya kira bantal selalu persegi panjang, bau, kempis dan bukan barang penting di tempat tidur. Beberapa tahun kemudian, saat saya berkunjung ke Sheraton Lagoon dan Jakarta Convention Center, wauw ternyata bantal banyak sekali jenisnya, dan kamar tidur adalah sungguh luar biasa indahnya, wangi dan mahal)