8 April 2013

Tiga Lelaki Empat Dengan Aku

Aku ingin menulis catatan ini untuk kalian. Syahdan lelaki, Luftan lelaki dan Nahnu lelaki. Kelak, jika umur kalian telah diijinkan menggunakan internet, mungkin kalian bisa membacanya. Cerita satu lelaki lagi, aku, yang kalian kenal sebagai ayah, bapak atau suami dari istri, ibu kalian.

Aku ingin bercerita kepada kalian bukan tentang orangorang yang tibatiba bahagia, tibatiba kaya, tibatiba mampu merubah kesusahan menjadi kesuksesan, ketiadaan menjadi keberlebihan. Aku bukan ayah kaya seperti kalian semua tau. Bukan ayah yang baik seperti kalian mungkin dengar. Tetapi ceritaku hanyalah sesuatu yang mungkin kau bisa belajar dari situ, sebagai bekal kalian menghadapi persoalan yang tentunya lebih rumit daripada dulu aku seusia kalian. Kalian hidup dalam rimba raya materialistik yang jika kalian tak siap, kalian hanyalah sampah dari hidup ini, kesana kemari terbawa iklan televisi, kehilangan jatidiri kalian sesungguhnya diciptakan, sebagai manusia.

Tiga lelaki! aku ingin memulainya dengan ini:

Tantangan pertama justru bukan darimana, tetapi dari ibuku sendiri. Tak seperti kebanyakan cerita-cerita di TV, bahwa seorang anak miskin yang punya cita-cita mendapat dorongan orangtua yang rela mengorbankan apa saja demi anakanak mereka tetap bisa sekolah. Dan yang terjadi padaku adalah seorang anak yang mengantungkan citacitanya setinggi langit, tetapi ibuku melarang aku ke sekolah. Bukan karena ibuku tak sayang, tetapi tak tau apa yang harus dikorbankan, apa yang bisa di jual dirumah yang bukan milik sendiri, dan kosong.

Memperoleh nilai terbaik di SD, bukan jaminan bisa melanjutkan sekolah ke SMP. Ibu melarangku saat itu karena yang ibu tau, sekolah adalah mahal dan mewah, milik hanya sebagian orangorang atasan perusahaan perkebunan (PTP). Tentu itu bukan aturan tertulis, tetapi isu itu betulbetul ada, kuat bahkan melekat di hati ibu.

Di hari pendaftaran SMP, aku "berseliweran" di area pendaftaran sekolah. Aku hanya bisa berharap seseorang membawa uang lebih dan memanggilku untuk ikut mendaftar. Tak ada. Tak satupun. Semua orang tua dan calon siswa membawa uang pas - mungkin. Di hari kedua pendaftaran, aku tak ingat lagi, siapa yang mendaftarkan aku di situ, mungkin Retno, Deasy, atau Arman. Mereka bertiga teman SDku yang juga mendaftar ke SMP itu. Tapi yang jelas, mereka bertiga adalah anakanak pejabat perkebunan, anakanak yang kenal ibuku karena ibu bekerja di rumah-rumah mereka. Mencuci bajunya, menyiapkan sarapannya, menggendong adik-adik mereka yang masih balita, mengkilapkan lantai rumahnya dan membawakan belanjaan mereka. Ibu bekerja disitu. Ibuku babu. Itu tahun 1985. Tahun pertama kali digunakan Danem (Daftar Nilai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Murni) sebagai seleksi masuk SMP.

“Sekolah sambil mencari biayanya.” Itulah yang ada di kepalaku, setelah melihat di papan pengumuman seleksi masuk SMP, aku diterima. Bagaimana caranya? Bekerja apa? Bisa apa? Sekecil aku? Aku juga menjawab tak tau. Pokoknya diterima dulu. Soal biaya aku akan berbicara kepada pihak sekolah, semacam "mohon ampun" untuk tidak ditarik dulu, sampai ada pekerjaan sepulang sekolah.

Dugaanku meleset. Di hari pertama memang tak ada tarikan uang, tetapi seragam sekolah dan sepatu hitam polos harus ada. Dan ternyata wajib dengan sendirinya walau tak ada tulisan seperti itu di sekolah. Bila tidak, maka aku akan mirip 'mahluk aneh' di tengah-tengah ratusan anak berpakaian seragam biru putih sepatuh hitam yang masih berbau khas toko. Hari pertama sekolah terpaksa tak bisa kuikuti. Hari itu aku gunakan berkeliling ke teman-teman mencari pinjaman seragam. Hari kedua aku sudah berhasil ada di sekolah dengan sesuatu yang semuanya kebesaran. Ya, Semuanya kebesaran, baju, celana, sepatu, kaos kaki dan tas. Sedikit tak sedap di pandang guru dan teman sekolah, jadi tertawaan setidaknya teman bangku sebelah.

Aku ingin mengecilkannya semua itu, tetapi bukan kepada penjahit karena semua ini jelas-jelas bukan milikku. Aku mencari dan berusaha sekuat tenaga menemukan apa yang paling besar, terbesar didiriku agar semuanya nampak kecil. Jika ada yang paling besar, maka yang lain akan nampak kecil. Dibangku kayu itu, di ruang kelas itu, aku melamun sambil mendengarkan Pak Mistono, seorang guru dengan cukuran kumis jenggot tak rapi, memberi ceramah P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), kutemukan sesuatu yang paling besar kubawa, yang terbesar bersama diriku di sekolah itu, dan itu adalah niat dan semangatku menyelesaikan sekolah sampai kepada tingkat tertinggi di bumi ini.

Entah kenapa, tiba-tiba semuanya nampak kecil. Seragam dan uang sekolah adalah persoalan kecil. Kekecilan bahkan. Terlalu kecil dibanding dengan semangat ini, dengan niat ini.

Tiga lelaki! aku sambung kapankapan lagi.


Jember, 18 Juni 2012
Hari pendaftaran sekolah, hari tiga lelaki diidaftarkan sekolah. Syahdan SMP. Luftan SD. Nahnu KB.

Semoga menginspirasi.