Pertunjukan sesungguhnya belum dimulai, namun satu babak
drama telah berlangsung di rumah, kira-kira satu jam setelah Maghrib di hari
Rabu 24 April. Kami bertiga bersepakat, masing-masing dari kami medapat bagian
peran antagonis dan protagonis sekaligus secara bergantian. Dan kami bertiga
adalah saya, istri dan anak kedua kami, Luftan (6 tahun 2 bulan), membawakan
tiga cerita sekaligus.
Cerita I: Saya adalah seorang petani desa yang tekun bekerja
disawah dan mengajak warga di sekitarnya beralih menggunakan pupuk organik
setelah mendapat informasi dari dosen pertanian cantik (diperankan istri saya),
dan mengajak petani lainnya, menanggulangi hama baru bernama Luban (diperankan
oleh Luftan).
Cerita II: Seorang lelaki bernama Jaroni (diperankan saya),
memarahi kepala stasiun kereta api yang super bijaksana (diperankan istri saya)
setelah mendengar seorang petugas pengumuman stasiun (diperankan Luftan) bahwa
kereta api tidak bisa di berangkatkan hari itu.
Cerita III: Seorang ksatria sejati penunggang kuda
(diperankan Luftan) melakukan tindakan penyelamatan penduduk yang kelaparan
disuatu kampung (diperankan saya), tetapi seorang nenek sihir bernama Agini
(diperankan istri saya) menghalangi usaha kasatria penunggang kuda.
Kami saling tertawa. Bahkan Luftan girang bukan main ketika
memerankan hama Luban, sang pengganggu petani. Deru dan ringkik kuda Luftan
yang melengking ketika memasuki halaman kampung, membuat saya dan istri saya
terpingkal karena ringkik kuda sang ksatria, tertukar dengan bunyi bel stasiun.
Sang nenek sihir juga lebih terlihat seperti juru masak. Peran saya
sebagai penduduk kampung yang kelaparan, kontradiktif dengan berat
badan saya yang berlebih.
Cerita tidak berjalan mulus karena kami tidak cukup
berlatih. Tetapi semangat kami bertiga untuk memainkan seni peran, membuat kami
bertiga sulit untuk bisa menahan tawa di depan TV yang sudah tidak bisa hidup
sejak dua minggu lalu di rumah kami.
Ketiga cerita itu tidak akan pernah dipentaskan, karena
sesungguhnya ketiga cerita itu berlatarbelakang kekecewaan saya terhadap
peristiwa beberapa menit sebelumnya tentang sebuah drama yang akan dipentaskan
di sekolah Luftan, di hari wisuda TK Al- Ir. beberapa minggu lagi.
Usai Maghrib, saya meneruskan membaca buku
"Partikel", buku terbaru Dee dari seri Supernova yang terbit bulan
April ini. Istri saya merapikan setrikaan di depan TV mati. Luftan mewarnai
gambar di sebelah saya menggunakan crayon patah-patah. Tiba-tiba, istri saya
bertanya kepada Luftan,
"Nak, kata mamanya Fara, kamu terpilih main drama di
acara wisuda nanti di sekolah, apa iya?" Luftan tidak menjawab. Dan aneh,
dia bereaksi kaget dan nampak tidak senang dengan pertanyaan itu. Saya
bisa melihat raut mukanya karena dia berada tidak lebih dari 200 cm dari saya.
Saya menjulurkan tangan dan berkata,
"Hei.. selamat.. you play a drama." Luftan tidak
membalas tangan saya dan tidak menjawab apa-apa bahkan ketika mamanya
mengulangi pertanyaan itu. Ini hal tidak biasa. Ini aneh dan membuat saya
bertanya di dalam pikiran, ada apa ya? Puncaknya ketika pertanyaan
kedua disampaikan oleh mamanya,
"Luftan jadi apa di acara drama itu?" Luftan
menutup buku mewarnainya, merapikan crayon-nya, tetap tidak menjawab pertanyaan
dan berusaha mengalihkan topik pembicaraan tentang crayon-nya yang memang
jelas-jelas tak lengkap 12 warna. Ketika pertanyaan itu diulang oleh
saya,
"Sebagai apa di drama itu?" Dia tetap tidak
menjawab. Kemudian berdiri meninggalkan kami, menuju kamar membawa crayon dan
buku mewarnainya, tak keluar lagi dari kamar untuk beberapa menit. Saya
berbicara dengan istri saya seputar ada apa dengan drama itu. Baru sekitar 20
menit kemudian, dengan cara berbisik, pelan sekali, nempel ke mamanya,
ditemukanlah jawabannya,
"Ma, aku terpilih jadi anak nakal"
Wow, giliran saya yang kaget karena ini pasti 'error'
saat guru menjelaskan tentang drama itu. Luftan pasti belum paham apa seni
peran. Kemungkinan, untuk dapat lebih jelasnya kepada siswa, seseorang disekolahnya
telah berkata kamu begini, kamu begitu, kamu harus begini, kamu harus begitu,
kamu jadi ini, kamu jadi itu, kamu jadi anak nakal."
Saya berfikir, bagaimana caranya untuk sedikit mengurangi
apa yang ada di kepala anak saya tentang kesan "jadi anak nakal"
dalam drama itu. Saya mengajukan 3 cerita kepada Luftan dan memainkan malam itu
juga di depan TV mati, dengan harapan ada sedikit pemahaman tentang seni peran
dalam sebuah pementasan drama.
Tiga cerita telah dimainkan sambil tertawa, dan menyenangkan.
Tiga orang telah berkesempatan mengalami karakter protagonis dan antagonis
dalam seni peran. Tetapi menjelang tidurnya, Luftan masih mengajukan pertanyaan
kepada saya yang tentunya hanya gurunya yang bisa menjawab,
"Pa, kenapa bu guru memilih aku ikut drama itu?"
Saya belum ketemu gurunya.
Jember, 25 April 2012
Semoga Menginspirasi.