Aku ingin bercerita kepada kalian bukan tentang orangorang
yang tibatiba bahagia, tibatiba kaya, tibatiba mampu merubah kesusahan menjadi
kesuksesan, ketiadaan menjadi keberlebihan. Aku bukan ayah kaya seperti kalian
semua tau. Bukan ayah yang baik seperti kalian mungkin dengar. Tetapi ceritaku
hanyalah sesuatu yang mungkin kau bisa belajar dari situ, sebagai bekal kalian
menghadapi persoalan yang tentunya lebih rumit daripada dulu aku seusia kalian.
Kalian hidup dalam rimba raya materialistik yang jika kalian tak siap, kalian
hanyalah sampah dari hidup ini, kesana kemari terbawa iklan televisi,
kehilangan jatidiri kalian sesungguhnya diciptakan, sebagai manusia.
Tiga lelaki! aku ingin memulainya dengan ini:
Tantangan pertama justru bukan darimana, tetapi dari ibuku
sendiri. Tak seperti kebanyakan cerita-cerita di TV, bahwa seorang anak miskin
yang punya cita-cita mendapat dorongan orangtua yang rela mengorbankan apa saja
demi anakanak mereka tetap bisa sekolah. Dan yang terjadi padaku adalah seorang
anak yang mengantungkan citacitanya setinggi langit, tetapi ibuku melarang aku
ke sekolah. Bukan karena ibuku tak sayang, tetapi tak tau apa yang harus
dikorbankan, apa yang bisa di jual dirumah yang bukan milik sendiri, dan
kosong.
Memperoleh nilai terbaik di SD, bukan jaminan bisa
melanjutkan sekolah ke SMP. Ibu melarangku saat itu karena yang ibu tau,
sekolah adalah mahal dan mewah, milik hanya sebagian orangorang atasan
perusahaan perkebunan (PTP). Tentu itu bukan aturan tertulis, tetapi isu itu
betulbetul ada, kuat bahkan melekat di hati ibu.
Di hari pendaftaran SMP, aku "berseliweran" di area
pendaftaran sekolah. Aku hanya bisa berharap seseorang membawa uang lebih dan
memanggilku untuk ikut mendaftar. Tak ada. Tak satupun. Semua orang tua dan
calon siswa membawa uang pas - mungkin. Di hari kedua pendaftaran, aku tak ingat
lagi, siapa yang mendaftarkan aku di situ, mungkin Retno, Deasy, atau Arman.
Mereka bertiga teman SDku yang juga mendaftar ke SMP itu. Tapi yang jelas,
mereka bertiga adalah anakanak pejabat perkebunan, anakanak yang kenal ibuku
karena ibu bekerja di rumah-rumah mereka. Mencuci bajunya, menyiapkan
sarapannya, menggendong adik-adik mereka yang masih balita, mengkilapkan lantai
rumahnya dan membawakan belanjaan mereka. Ibu bekerja disitu. Ibuku babu. Itu
tahun 1985. Tahun pertama kali digunakan Danem (Daftar Nilai Evaluasi Belajar
Tahap Akhir Murni) sebagai seleksi masuk SMP.
“Sekolah sambil mencari biayanya.” Itulah yang ada di
kepalaku, setelah melihat di papan pengumuman seleksi masuk SMP, aku diterima.
Bagaimana caranya? Bekerja apa? Bisa apa? Sekecil aku? Aku juga menjawab tak
tau. Pokoknya diterima dulu. Soal biaya aku akan berbicara kepada pihak
sekolah, semacam "mohon ampun" untuk tidak ditarik dulu, sampai ada pekerjaan
sepulang sekolah.
Dugaanku meleset. Di hari pertama memang tak ada tarikan
uang, tetapi seragam sekolah dan sepatu hitam polos harus ada. Dan ternyata
wajib dengan sendirinya walau tak ada tulisan seperti itu di sekolah. Bila
tidak, maka aku akan mirip 'mahluk aneh' di tengah-tengah ratusan anak
berpakaian seragam biru putih sepatuh hitam yang masih berbau khas toko. Hari
pertama sekolah terpaksa tak bisa kuikuti. Hari itu aku gunakan berkeliling ke
teman-teman mencari pinjaman seragam. Hari kedua aku sudah berhasil ada di sekolah
dengan sesuatu yang semuanya kebesaran. Ya, Semuanya kebesaran, baju, celana,
sepatu, kaos kaki dan tas. Sedikit tak sedap di pandang guru dan teman sekolah,
jadi tertawaan setidaknya teman bangku sebelah.
Aku ingin mengecilkannya semua itu, tetapi bukan kepada
penjahit karena semua ini jelas-jelas bukan milikku. Aku mencari dan berusaha
sekuat tenaga menemukan apa yang paling besar, terbesar didiriku agar semuanya
nampak kecil. Jika ada yang paling besar, maka yang lain akan nampak kecil.
Dibangku kayu itu, di ruang kelas itu, aku melamun sambil mendengarkan Pak
Mistono, seorang guru dengan cukuran kumis jenggot tak rapi, memberi ceramah P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), kutemukan sesuatu yang paling
besar kubawa, yang terbesar bersama diriku di sekolah itu, dan itu adalah niat
dan semangatku menyelesaikan sekolah sampai kepada tingkat tertinggi di bumi
ini.
Entah kenapa, tiba-tiba semuanya nampak kecil. Seragam dan
uang sekolah adalah persoalan kecil. Kekecilan bahkan. Terlalu kecil dibanding
dengan semangat ini, dengan niat ini.
Tiga lelaki! aku sambung kapankapan lagi.
Jember, 18 Juni 2012
Hari pendaftaran sekolah, hari tiga lelaki diidaftarkan
sekolah. Syahdan SMP. Luftan SD. Nahnu KB.
Semoga menginspirasi.