Lulus SMP Negeri di kampung waktu itu bukan senang yang saya
rasakan. Gelisah, bagaimana caranya bisa melanjutkan sekolah ke kabupaten, ke
Jember, saya belum pernah kesana sebelumnya. Sampai hari itu, sampai hari
“nekat” berangkat bersepeda ke Jember, membawa ijasah SMP dan mendaftar di
beberapa sekolah dan diterima di SMEA Negeri 1 Jember. Itu terjadi tahun 1988.
Setelah diterima sebagai siswa baru sekolah itu, saya bertanya kepada salah satu guru disitu, Pak Umar Sya’ni namanya, guru agama, “Pak, apa sekolah punya tempat yang menampung siswa yang rumahya jauh?” Beliau menjawab dengan senyum khasnya, “Belum punya.” Saya bertanya lagi, “Apa ada guru yang mau menampung saya untuk tinggal dirumahnya dan saya bisa bersih-bersih rumahnya, mengisi bak mandinya, saya juga bisa mencuci?” Beliau menjawab dengan bijaksana, “Wah, itu saya tidak tau.” Karena Pak Umar tak tahu, saya berusaha mencari tau dengan bertanya kepada guru yang lalu lalang di teras kelas itu. Tak satupun yang bersedia. Tak satupun yang butuh. Barangkali perpustakaan sekolah bisa, pikir saya. Saya menuju perpustakaan dan bertanya disitu. Pak Ramto menjawab bahwa perpustakaan bukan tempat tidur, tak bisa, apalagi menginap.
Hendak menumpang di rumah teman, tapi baru kenal. Mereka semua siswa baru. Maka tak ada jalan lain kecuali bersepeda dari kampung ke sekolah setiap hari, menempuh jarak sekitar 60 km pergi pulang. Naik angkutan umum tak terjangkau harganya, apalagi setiap hari. Dan itu terjadi selama 7 bulan (semester pertama sekolah) sampai seorang kenalan memberikan kesempatan kandang kambingnya di sekitar Talangsari untuk saya tinggali.
Beruntung sekali, kemarin sore (6 April) saya dan anak saya, Syahdan, bisa bersepeda menempuh jarak itu. Saya bercerita tentang hari-hari itu kepada Syahdan di sepanjang jalan. Hari-hari saat hujan dan gelapnya jalan perkebunan bisa saya lewati menuju sebuah cita-cita: bersekolah. Lulus Tahun 1991, lebih panjang lagi cerita berliku.
Setelah diterima sebagai siswa baru sekolah itu, saya bertanya kepada salah satu guru disitu, Pak Umar Sya’ni namanya, guru agama, “Pak, apa sekolah punya tempat yang menampung siswa yang rumahya jauh?” Beliau menjawab dengan senyum khasnya, “Belum punya.” Saya bertanya lagi, “Apa ada guru yang mau menampung saya untuk tinggal dirumahnya dan saya bisa bersih-bersih rumahnya, mengisi bak mandinya, saya juga bisa mencuci?” Beliau menjawab dengan bijaksana, “Wah, itu saya tidak tau.” Karena Pak Umar tak tahu, saya berusaha mencari tau dengan bertanya kepada guru yang lalu lalang di teras kelas itu. Tak satupun yang bersedia. Tak satupun yang butuh. Barangkali perpustakaan sekolah bisa, pikir saya. Saya menuju perpustakaan dan bertanya disitu. Pak Ramto menjawab bahwa perpustakaan bukan tempat tidur, tak bisa, apalagi menginap.
Hendak menumpang di rumah teman, tapi baru kenal. Mereka semua siswa baru. Maka tak ada jalan lain kecuali bersepeda dari kampung ke sekolah setiap hari, menempuh jarak sekitar 60 km pergi pulang. Naik angkutan umum tak terjangkau harganya, apalagi setiap hari. Dan itu terjadi selama 7 bulan (semester pertama sekolah) sampai seorang kenalan memberikan kesempatan kandang kambingnya di sekitar Talangsari untuk saya tinggali.
Beruntung sekali, kemarin sore (6 April) saya dan anak saya, Syahdan, bisa bersepeda menempuh jarak itu. Saya bercerita tentang hari-hari itu kepada Syahdan di sepanjang jalan. Hari-hari saat hujan dan gelapnya jalan perkebunan bisa saya lewati menuju sebuah cita-cita: bersekolah. Lulus Tahun 1991, lebih panjang lagi cerita berliku.