Saya mengunjungi beberapa TKBM (tempat kegiatan belajar mandiri) SMP TERBUKA, atas inisiatif pribadi untuk melihat langsung proses kegiatan belajar mengajar bagi anak-anak yang kebetulan kurang beruntung secara ekonomi. Saya melihat kegiatan siswa dan aktifitas guru, fasilitas, dan kurikulum yang di selenggarakan di TKBM.
Saya kaget, ternyata ada ribuan anak yang tersebar di TKBM. "sungguh tidak masuk akal", begitu saya melihat jumlah itu. saya tidak punya pengetahuan sama sekali pada area ini. Setahu saya, beberapa SMP negeri di kecamatan mengeluh kekurangan siswa, konon katanya karena keberhasilan progam keluarga berencana. ternyata tidak begitu adanya.
Siswa TKBM-SMP Terbuka tidak mendapatkan fasilitas pendidikan semestinya. Mereka belajar di ruang-ruang darurat, "lesehan" di emper masjid, musholla, di bawah pohon, dan beberapa lagi terlalu dekat dengan kandang ayam atau kandang kambing. Kebanyakan mereka adalah siswa perempuan dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah (baca: buta huruf). mereka menggunakan seragam SMP hasil iuran honorarium guru-guru mereka yang tak lebih dari Rp.150.000 sebulan. Mereka menggunakan pakaian olah raga dari dana permerintah (BOS) yang dirupakan kaos olah raga dan bola volley oleh SMP induknya (SMP Negeri). Hampir sama sekali tidak ada program pembinaan dari pihak manapun, walupun secara aturan lembaga mereka harus mendapat pembinaan dari kordinator daerah melalui SMP induk.
Saya melakukan sharing dengan beberapa guru, pengelola, pengurus dan beberapa siswanya. Saya mendapat hidangan teh hangat. kami membicarakan gagasan sederhana berjam-jam sampai saya lupa pulang. berikut adalah catatan saya dalam diskusi itu:
1. Posisi Strategis
Pegelolaan TKBM-SMP terbuka di kabupaten Jember, banyak diselenggarakan di pondok-pondok pesantren dengan latar belakang pendirian yang beragam. Saya melihat peran pesantren yang signifikan untuk mensukseskan wajib belajar 9 tahun. TKBM-SMP TERBUKA di pesantren memiliki peran strategis agar anak masih besedia melanjutkan sekolah setelah SD. Saya belum melihat data statistik kabupaten jember, berapa jumlah lulusan SD yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Tetapi jika melihat dari jumlah siswa yang tersebar di TKBM-SMP TERBUKA, angka putus wajib belajar ini tidak akan kecil.
2. Mayoritas Perempuan
dugaan saya adalah, masih banyak orang tua di Jember yang memandang bahwa pendidikan lebih penting bagi anak laki-laki. orang tua menitipkan anak perempuannya ke pondok pesantren dengan maksud mereka belajar ilmu agama atau kerumahtaggaan dan berharap tak lama kemudian mendapat lamaran dari calon suami (menikah). kehadiran TKBM-SMP TERBUKA di pondok pesantren akan sangat menolong untuk mengurangi praktik kawin muda, setidaknya siswa sampai lulus SMP.
3. SMP Induk
beberapa SMP induk (SMP negeri) yang di tunjuk, kurang melakukan pembinaan (bahkan di beberapa lembaga tidak pernah datang sama sekali). Guru-guru mereka adalah mirip sukarelawan-sukarelawati yang berjuang mengajar muridnya menurut keyakinan mereka masing-masing.
4. Sosialisasi.
banyak masyarakat tidak tahu, apa TKBM- SMP TERBUKA itu, bahkan siswa sendiri banyak yang tidak tahu. Tidak ada rasa percaya diri dari siswa, guru atau pengelola. mereka seperti mengalir saja sampai mereka bosan sekolah atau sampai ada seseorang lelaki melamarnya.
kondisi diatas tentu tidak bisa di generalisasi atau semua TKBM- SMP TERBUKA bisa disebut seperti itu. Sekali lagi saya hanya melihat beberapa.
kemudian kami membicarakan gagasan paling krusial tentang TKBM yang ingin kami 'follow up' awal tahun nanti.