31 Januari 2011

Yang Terlupa (2)

bagian 2:  Siswa Fokus Belajar

Yang ingin saya sampaikan pada bagian kedua ini adalah hal penting yang sering saya lihat di dalam kelas. Karena sering, kemudian menjadi biasa, kemudian menjadi tradisi, bahkan mendapat “legitimasi”, yaitu siswa tidak fokus pada belajarnya sendiri.

Siswa sibuk membandingkan dirinya dengan siswa lain. Siswa belajar hanya untuk kepentingan nilai atau skor. Siswa sibuk dengan pikiran bagaimana siswa lain melihat dirinya. Mereka belajar demi sebuah “penghargaan” bukan belajar demi kepentingan hidupnya. Hasilnya adalah perasaan khawatir yang berlebihan terhadap hasil ujian, perasaan dikalahkan oleh saingan bahkan seringkali hasil belajar itu tidak membekas sedikitpun ketika mereka telah dinyatakan selesai oleh suatu peristiwa bernama ujian.

“Wah, itu kan pelajaran kelas satu, bu.”
"Sudah lupa , pak."

Jika siswa fokus pada belajar, siswa akan memilki ketertarikan untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh dari sekolah. Siswa akan berupaya mencapai kemampuan maksimalnya, akan berusaha memahami apa yang telah dipelajari dan siswa akan menunjukkan perhatian yang terus meningkat terhadap tugas-tugas yang diberikan oleh guru.

Bagaimana meningkatkan fokus belajar siswa? Tiga hal berikut ini semoga menginspirasi:

1. Kemampuan prima
Salah satu tugas guru adalah melatih siswa mencapai kemampuan prima. Yakinlah, pada setiap diri siswa telah dibekali kemampuan belajar secara alamiah. Guru seperti pelatih atlit, menyiapkan dan mengantarkan siswa berada dalam kemampuan prima setiap hari. Bedanya, jika olahragawan bersaing dengan atlit lain, siswa berlomba dengan dirinya sendiri.

Setiap siswa dapat mencapai kemampuan prima jika dia fokus kepada apa yang telah dia pelajari, pengetahuan apa yang telah dia miliki, keterampilan apa yang telah dia kuasai setelah dia belajar dengan gurunya di sekolah. Kesadaran-kesadaran seperti ini harus bisa diinventarisasi sendiri oleh siswa.

Saya mengusulkan  semacam jurnal belajar personal atau apalah namanya yang berisi rekaman kemajuan siswa yang bisa diperiksa oleh guru  setiap saat.  Berikan kebebasan kepada siswa sendiri untuk mengekpresikan hasil belajarnya pada halaman jurnal agar guru juga mendapatkan feedback yang lebih jujur untuk peningkatan penampilan mengajarnya.

2. Kurangi perhatian mereka yang membandingkan hasil belajarnya dengan siswa lain.
Setiap siswa harus bisa melihat peningkatan kemampuan dirinya dari hari ke hari. Siswa harus mencapai keadaan bahwa mereka belajar atas alasan personal bukan semata-mata persaingan kelas atau sekedar sebuah nilai di dalam rapor, ijazah atau peringkat kelas.

Hal kecil yang sering dianggap bukan masalah adalah cara guru memberi motivasi yang kurang tepat.
“Ayo dong, kalian harus bisa seperti Yeri”.
“Ayo Budi, bisa kan kamu seperti Romli.”
“Wah, pak guru berat ngajar kelas ini, seandainya kalian seperti kelas sebelah, saya akan sangat salut terhadap kalian, ayo tunjukkan kamu bisa lebih baik dari mereka,”

Boleh jadi Yeri, Romli dan kelas sebelah semakin termotivasi, semakin percaya diri. Tetapi hal yang harus disadari juga oleh guru bahwa semangat tiga puluh delapan anak yang lainnya di kelas itu, terjun bebas sampai ke dasar jurang. Semakin sibuk siswa membandingkan dirinya dengan siswa lain semakin berkurang perhatiannya terhadap tugas belajarnya. Siswa akan kehilangan kepercayaan pada kemampuannya sendiri dan menetapkan standar kemampuannya pada kemampuan siswa lain. Lebih baik atau lebih buruk dari siswa lain.

Kenali setiap potensi diri siswa. Berikan kepercayaan kepada setiap siswa bahwa mereka dapat mencapai kemampuan primanya dengan cara fokus kepada tugas-tugas yang diberikan kepadanya, fokus pada feedback  nilaii yang diberikan guru, bandingkan dengan feedback  nilai sebelumya dan dorong siswa menemukan cara terbaiknya sendiri untuk meningkatkan hasil belajar pada sesi berikutnya.

3. Berikan pemahaman kepada siswa bahwa proses belajar sama penting dengan hasilnya.
Prestasi belajar seringkali dipandang secara sempit, yaitu nilai atau skor yang di peroleh siswa. Maka tidak heran, mengapa hasil pembelajaran tidak begitu banyak membawa perubahan pada cara berfikir siswa, logika, gagasan, tingkah laku walau telah belasan tahun duduk di bangku sekolah.  Saya tentu tidak ingin mengatakan bahwa nilai atau skor itu tidak penting, tetapi siswa harus dapat memahami bahwa proses untuk mencapai hasil itu juga tak kalah penting. Dan di dalam prosesnya itu sendiri, telah ada pencapaian-pencapaian (prestasi), seperti kemampuan siswa menyerap  keterampilan dan pengetahun baru dan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.

kisah-kisah di beberapa media seperti berikut, tentu sangat lucu bila kita cermati:
- sekolah mengadakan try out  untuk mengukur kesiapan siswa dalam menghadapi ujian nasional. Skor yang di capai akan menjadi bahan masukan bagi sekolah dan bagi siswa itu sendiri. lucunya, siswa berusaha  'nyontek' mati-matian.
- siswa bunuh diri karena tidak lulus ujian nasional
- guru 'membantu' siswa dengan memberi jawaban di hari ujian nasional
- orang tua siswa datang ngluruk guru ke sekolah karena merasa putrinya tidak mendapat nilai yang mestinya lebih tinggi dari si A, si B,dan si C.
- siswa tidak naik kelas, karena ada dua nilai yang kurang dari KKM. (duh, yang ini bukan kisah lucu,tapi biadab)


Semoga menginspirasi.


Mumbulsari, 30 Januari 2011
Menunggu hujan reda